Senin, 20 Agustus 2012

Demam Berdarah Dengue


Definisi
Demam berdarah dengue adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi, yang disertai leucopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diathesis hemoragik.

II.2.2 Epidemiologi
DBD ditransmisikan dari orang ke orang melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopticus. Penularan penyakit ini dimulai dengan nyamuk Aedes aegypty yang menggigit orang sakit yang telah terinfeksi virus dengue. Nyamuk tersebut kemudian telah membawa virus, dimana nantinya virus akan bereplikasi didalam kelenjar saliva nyamuk tersebut. Nyamuk yang telah siap menginvasi kemudian menggigit individu sehat. Sehingga orang sehat akhirnya tertular virus dengue. Begitu seterusnya hingga terjadi penyebaran penyakit yang meluas. Beberapa factor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus dengue, yaitu :
1.      Vektor : perkembangbiakan vector, kebiasaan menggigit, kepadatan vector di lingkungan, dan transportasi vector dari satu tempat ke tempat yang lain.
2.      Penjamu : terdapatnya penderita di lingkungan/keluarga, mobilisasi dan paparan terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin
3.      Lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi, dan kepadatan penduduk.
Sekitar 250.000 kasus DBD terjadi di seluruh dunia, dimana lebih dari 12.000 diantaranya berakhir dengan kematian. Virus dengue terdistribusi pada daerah tropis dan subtropics sebagian besar pada Asia Tenggara (semua serotype), Kepulauan Pasifik (tipe 2), Afrika Barat (tipe 3), Afrika Timur (tipe 2), Karibia (tipe 1 dan 4), dan Amerika (tipe 2 dan 3). Indonesia sendiri merupakan daerah endemis dengan sebaran diseluruh tanah air. Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.00 penduduk (1989 hingga 1995); dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2% pada tahun 1999. DBD menyerang hampir semua kalangan tanpa memandang usia dan jenis kelamin.

II.2.3 Etiologi
Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue disebabkan oleh virus dengue yang termasuk dalam genus flavivirus, keluarga flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106.
Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue maupun demam berdarah dengue. Keempat serotype ini ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Terdapat reaksi silang antara serotype dengue dengan flavivirus lain seperti yellow fever, Japanese enchepalitis, dan west nile virus. Antara serotype dengue satu dengan yang lainnya, tidak terdapat cross protection, sehingga individu yang telah memiliki riwayat terinfeksi virus dengue sebelumnya dapat terinfeksi kembali dengan serotype virus yang lainnya. Infeksi sekunder yang terjadi biasanya beresiko menimbulkan keparahan dan biasanya inilah yang berkembang menjadi DBD.

II.2.4 Patogenesis
Virus merupakan mikrooganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel hidup. Maka demi kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing dengan sel  manusia sebagai pejamu (host) terutama dalam mencukupi kebutuhan akan protein. Persaingan tersebut sangat tergantung pada daya tahan pejamu,  bila daya tahan baik maka akan terjadi penyembuhan dan timbul antibodi, namun bila daya tahan rendah maka perjalanan penyakit menjadi makin  berat dan bahkan dapat menimbulkan kematian.
Patogenesis DBD dan SSD (Sindrom syok dengue) masih merupakan  masalah yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan  SSD adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) atau hipotesis immune enhancement. Hipotesis ini menyatakan  secara tidak langsung bahwa pasien yang mengalami infeksi yang kedua  kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan  kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran  sel leokosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga          akan     bebas   melakukan       replikasi dalam sel makrofag.
Dihipotesiskan juga mengenai antibodi dependent enhancement (ADE) , suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan  permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok. Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary heterololous infection dapat dilihat pada Gambar 1 yang dirumuskan oleh Suvatte, tahun 1977. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengueyang berlainan pada seorang pasien, respons antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan  transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti  dengue. Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit  yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi (virus antibody complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5  menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intervaskular ke ruang ekstravaskular. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30% dan berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya peningkatan hematokrit, penurunan kadar natium, dan terdapatnya caiaran di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat akan menyebabkan asidosi dan anoksia yang dapat berakhir fatal. Oleh karena itum pengobatan syok sangat penting guna mencegah kematian.
Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus binatang lain dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu visus mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabahyang besar. Kedua hipoteisi tersebut didukung oleh data epidemiologis dan laboratoris.


Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan  mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah gambar 2). Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degredation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.


Spektrum Klinis
Infeksi virus dengue tergantung dari faktor yang mempengaruhi daya tahan tubuh dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus. Dengan demikian infeksi virus dengue dapat menyebabkan keadaan yang bermacam-macam, mulai dari tanpa gejala (asimtomatik), demam ringan yang tidak spesifik (undifferentiated  febrile illness), Demam Dengue, atau bentuk yang lebih berat yaitu Demam berdarah Dengue (DBD) dan Sindrom Syok Dengue (SSD).


II.2.5 Manifestasi Klinis
Bentuk klasik dari DBD ditandai dengan demam tinggi, mendadak 2-7 hari, disertai dengan muka kemerahan. Keluhan seperti anoreksia, sakit kepala, nyeri otot, tulang, sendi, mual, dan muntah sering ditemukan. Beberapa penderita mengeluh nyeri menelan dengan farings hiperemis ditemukan pada pemeriksaan, namun jarang ditemukan batuk pilek. Biasanya ditemukan juga nyeri perut dirasakan di epigastrium dan dibawah tulang iga. Demam tinggi dapat menimbulkan kejang demam terutama pada bayi. Bentuk perdarahan yang paling sering adalah uji tourniquet (Rumple leede) positif, kulit mudah memar dan perdarahan pada bekas suntikan intravena atau pada bekas pengambilan darah. Kebanyakan kasus, petekia halus ditemukan tersebar di daerah ekstremitas, aksila, wajah, dan palatumole, yang biasanya ditemukan pada fase awal dari demam. Epistaksis dan perdarahan gusi lebih jarang ditemukan, perdarahan saluran cerna ringan dapat ditemukan pada fase demam. Hati biasanya membesar dengan variasi dari just palpable sampai 2-4 cm di bawah arcus costae kanan. Sekalipun pembesaran hati tidak berhubungan dengan berat ringannya penyakit namun pembesar hati lebih sering ditemukan pada penderita dengan syok. Masa kritis dari penyakit terjadi pada akhir fase demam, pada saat ini terjadi penurunan suhu yang tiba-tiba yang sering disertai dengan gangguan sirkulasi yang bervariasi dalam berat-ringannya. Pada kasus dengan gangguan sirkulasi ringan perubahan yang terjadi minimal dan sementara, pada kasus berat penderita dapat mengalami syok.

II.2.6 Penegakan Diagnosis
a.         Kriteria klinis DBD
  • Demam akut (tetap tinggi selama 2-7 hari), kemudian turun secara lisis. Demam disertai gejala tidak spesifik seperti anoreksia, lemah, nyeri pada punggung, tulang, persendian dan kepala.
  • Manifestasi perdarahan
-          Uji torniquet (+)
-          Ptekia, pur-pura, ekimosis
-          Epitaksis, perdarahan gusi
-          Hematemesis, melena
  • Hepatomegali dengan nyeri tekan
  • Dengan atau tanpa syok
·         Syok biasanya terjadi pada saat demam menurun (hari ke 3-7). Syok yang terjadi pada saat demam biasanya punya prognosis buruk.
  • Kenaikan nilai hematokrit / hemokonsentrasi

b.         Derajat beratnya penyakit DBD secara klinis:
  • Derajat I (ringan)
Demam mendadak 2-7 hari disertai gejala klinis laindengan manifestasi perdarahan teringan : yaitu uji torniquet (+).
  • Derajat II (sedang)
Ditemukan perdarahan kulit dan manifestasi perdarahan lain.
  • Derajat III : ditemukan tanda-tanda dini syok.
  • Derajat IV : ditemukan DDS dengan tensi dan nadi tidak terukur.
                                                           
c.         Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal dibawah ini dipenuhi :
1)      Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik
2)      Terdapat minimal 1 dari manifestasi perdarahan berikut :
Ø  Uji bendung posistif
Ø  Pteki, ekimosis, atau purpura
Ø  Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi)
Ø  Hematemesis atau melena
3) Trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/ul)
4) Terdapat minimal 1 tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai berikut:
Ø  Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis kelamin
Ø  Penurunan hematokrit> 20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya
Ø  Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites, hipoproteinemia
Sedangkan pasien dikatakan mengalami Sindrom Syok Dengue apabila seluruh kriteria diatas disertai dengan kegagalan sirkulasi dengan manifestasi perdarahan yang cepat dan lemah, tekanan darah turun ( 20 mmHg), hipotensi dibandingkan standar sesuai umur, kulit dingin, dan lembab, serta gelisah.
Berikut ini tabel yang menggambarkan jelas mengenai manifestasi klinis yang biasa timbul pada infeksi virus dengue sesuai dengan derajatnya. DBD derajat III dan IV juga disebut sindrom syok dengue.
DD/DBD
Derajat
Gejala
Laboratorium
DD

Demam disertai 2 atau lebih tanda : sakit kapala, nyeri retro-orbital, mialgia, atralgia
·         Leukopenia
·         trombositopenia, tidak ditemukan bukti kebocoran plasma
·         serologi dengue positif
DBD
I
Gejala diatas ditambah uji bendung positif
Trombositopenia
(<100.000/ul), bukti ada kebocoran plasma
DBD
II
Gejala diatas ditambah perdarahan spontan
Trombositopenia (<100.000/ul), bukti ada kebocoran plasma
DBD
III
Gejala diatas ditambah kegagalan sirkulasi (kulit, dingin,dan lembab serta gelisah)
Trombositopenia (<100.000/ul), bukti ada kebocoran plasma
DBD
IV
Syok berat disertai dengan tekanan darah dan nadi tidak terukur
Trombositopenia (<100.000/ul), bukti ada kebocoran plasma

d.        Kriteria Klinis menurut WHO :
1.         Kriteria Klinis
§  Demam tinggi mendadak , tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-menerus selama 2-7 hari.
§  Terdapat manifestasi perdarahan.
§  Hepatomegali
§  Syok
2.         Kriteria Laboratorium
§  Trombositopenia (100000 mm³ atau kurang)
§  Hemokonsentrasi, dapat dilihat dari peningkatan hematokrit  20% atau lebih.
Dua kriteria pertama ditambah trombositopenia atau hemokonsentrasi cukup untuk menegakkan diagnosis DBD.

e.         Kriteria Laboratorium
Ada empat jenis pemeriksaan laboratorium yang digunakan untuk diagnosis DBD, yaitu uji serologi, isolasi virus, deteksi antigen, dan deteksi DNA/RNA menggunakan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR).

1.         Uji Serologi
Ada lima macam uji serologi yang biasa dilakukan, yaitu :
Ø  Penghambatan Pembekuan Darah (HI)
         Diantara kelima macam pengujian, Hi paling sering digunakan karena sifatnya yang sensitive, mudah dikerjakan, memerlukan peralatan paling sedikit, dan hasilnya paling dapat dipercaya jika dilaksanakan secara benar sesuai prosedur. Antibodi HI dapat bertahan dalam jangka waktu lam (mencapai 48 tahun, bahkan lebih), sehingga uji ini ideal untuk pembelajaran epidemiologi. Kekurangan pengujian ini adalah spesifitasnya sangat rendah sehinggan tidak dapat diandalkan untuk dapat mengidentifikasi infeksi serotype virus. Namun, beberapa pasien dengan infeksi primer menunjukkan respon HI tunggal secara relative yang umumnya berhubungan denagn virus yang diisolasi.
Ø  Ikatan Komplemen (CF)
         Uji ikatan komplemen (CF) jarang digunakan dalam uji serologis diagnosis dengue. Pengujian ini lebih sulit dilakukan karena membutuhkan tenaga terltih dan professional, sehingga uji ini tidak digunakan pada sebagian besar laboratorium.
         Pengujian ini berdasarkan prinsip bahwa komplemen dibutuhkan selama reaksi antigen-antibodi. Antibody CF umumnya terlihat setelah antibody HI. Antibodi CF lebih spesifik pada infeksi primer dan biasanya hanya bertahan dalam waktu singkat walaupun ada beberapa kasus antibody pada kadar rendah dapat bertahan pada beberapa orang. Spesifitas yang lebih besar pada uji ini saat infeksi primer ditunjukkan oleh respon CF monotype, dimana respon HI sangat heterotipe. Tetapi uji CF tidak spesifik pada infeksi sekunder. Pengujian ini sangat berguna bagi pasien saat ini, tetapi nilainya terbatas untuk pembelajaran seroepidemiologi, dimana reaksi dari antibody yang tertahan adalah penting.
Ø  Uji Netralisasi
         Uji netralisasi adalah pengujian serologi terhadap virus dengue yang paling spesifik dan sensitive. Protocol yang paling sering digunakan dalam laboratorium adalah uji penetralan reduksi plaque cairan serum. Pada umumnya titer penetralan antibody meningkat pada saat yang sama atau sedikit lebih lambat dai pada titer antibidi HI dan ELISA tetapi jauh lebih cepat daripada titer antibody CF dan betahan minimal selama 48 tahun. Oleh karena NT lebih sensitive maka penetralan antibody diwujudkan dengan tidak ditemukan antibody Hi pada beberapa orang yang pernah menderita infeksi dengue.
         Secara umum respon penetralan antibody monotype diamati dalam serum pada waktu fase penyembuhan. Pada kasus-kasus yang memberikan respon tunggal, interpretasi dari semua pengujian umumnya dapat dipercaya. NT dapat digunakan untuk pembelajaran seroepidmiologi karena penetralan antibody besifat tahan lama. Pengujian ini tidak digunakan secara rutin oleh sebagian besar laboratorium Karena dibutuhkan biaya yang mahal, waktu yang lama, dan teknik yang sulit.
Ø  Immunoglobulin M (IgM)
         Antibodi dengue IgM berkembang sedikt lebih cepat dari pada antibody IgG pada specimen virus yang didiagnosis. Antibody IgM diproduksi oleh pasien yang menderita infeksi dengue primer dan sekunder yang terjadi secara bersamaan dan mungkin juga oleh orang yang terkena infeksi tersier. Teter antibody IgM pada pada infeksi primer secara signifikan lbih tinggi dari infeksi sekunder.
Ø  Uji ELISA
         Uji ELISA atau MAC-ELISA merupakan uji serologi yang secara luas digunakan selama beberapa tahun terakhir dalam diagnosis dengue. Uji elisa ini sederhana dan hanya membutuhkan sedikit peralatan yang rumit. Uji ELISA dalam diagnosis infeksi dengue pada sampel serum fase akut sedikit lebih senssitif dari pada uji HI.ada kenungkina respon yang didapat dari HI adalah posotof palsu karena setelah dikakukan uji ELISA didapatka hasil yang negative, sehingga dalam hal ini, uji ELISA dapat memperkecil kesalahan diagnosis.
         Spesifitas uji ELISA hampir sama dengan uji HI. Selain itu, pada daerah endemic dengue, uji ELISA dapat dilakukan untuk menguji specimen serumdalam jumlah banyak dengan biaya murah, khususnya untuk pasien yang di rawat di rumah sakit karena pada umumnya mereka dating setelah IgM terdeteksi dalam darah mereka. Kekurangannya adalah uji ini tidak dapat digunakan untuk mengidentifikasi infeksi serotype virus yang serupa seperti pada HI.

2.         Isolasi virus
         Keberhasilan isolasi virus sangat bergantung pada saat pengambilan darah, jumlah darah, proses pengiriman darah ke laboratorium dan teknik pengujian di laboratorium. Karena hasil pemeriksaan memerlukan waktu kira-kira 1 minggu atau lebih dan secara teknik sukar, cara ini kurang dianjurkan untuk pemeriksaan rutin.

3.         Deteksi Antigen
         Metode pilihan identifikasi virus melalui deteksi antigen adalah Immunoglobulin Fluorescent Antibody (IFA), pengujian ini mudah dilaksanakan (dengan kultur sel terinfeksi atau jaringan otak nyamuk), sederhana, dapat dipercaya, dan metode yang paling cepat.
         Kesuksesan mengisolasi virus dengue dari serum manusia tergantung dari beberapa faktor, yaitu:
·         Pelaksanaan dan penyimpanan specimen. Aktivitas virus dapat terhambat karena panas, pH, dan bahan-bahan kimia tertentu.
·         Tingkat viremia, dapat bervariasi tergantung pada waktu setelah onset, titer antibody, dan strain virus yang menginveksi. Viremia biasanya mencapai puncak pada saat atau sesaat sebelum onset waktu sakit dan dapat dideteksi rata-rata 4-5 hari.
·         Terlihatnya antibody IgM pada virus yang diisolasi.

4.         Polymerase Chain Reactor (PCR)
         PCR merupakan metode baru untuk mendiagnosis Dengue, PCR akan mendeteksi dan memberikan gambaran genomic (RNA/DNA) sekuen virus dari jaringan otopsi, sediaan serum, atau cairan serebro spinalis (CSS). PCR menghasilkan diagnosis serotype spesifik yang cepat, sensitive, dan sederhana.

5.         Pemeriksaan darah laboratorium
         Pemeriksaan darah laboratorium bermanfaat untuk mengetahui ada atau tidaknya infeksi virus Dengue, sudah seberapa parah infeksi yang berlangsung, dan tindakan medis apa yang perlu dilakukan. Pemeriksaan ini juga bermanfaat untuk memonitor kesembuhan pasien.
         Secara umum pemeriksaan laboratorium mencakup pemeriksaan trombosit, hematokrit, dan adanya immunoglobulin jenis IgM. Berikut gambaran darah yang terinfeksi dengue :
Ø  Trombositopeni (penurunan jumlah trombosit) : Jumlah trombosit < 100.000/ml
Ø  Hematokrit meningkat : Kenaikan Ht mencapai >20%
Ø  Leukopenia (leukosit menurun): Leukosit < 5000 sel / mm3
Ø  Limfosis : Peningkatan jumlah limfosit atipikal mengidentifikasikan dalam waktu 24 jam pasien akan bebas demam serta memasuki fase kritis.
Ø  Waktu pendarahan memanjang
Ø  Sediaan apus leukosit abnormal
Ø  IgM dan IgG (setelah sebelumnya pernah terkena infeksi virus dengue)

II.2.7 Penatalaksanaan
A.  Pemberian Cairan
Perbedaan patofisiologik utama antara DD/DBD/SSD dan penyakit lain adalah peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan plasma dan gangguan hemostasis. Gambaran klinis DBD/SSD sangat khas yaitu demam tinggi mendadak, diastesis hemoragik, hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi. Maka keberhasilan tatalaksana DBD terletak pada bagian mendeteksi secara dini fase krisis yaitu saat suhu turun (the time of defervescence) yang merupakan fase awal terjadnya kegagalan sirkulasi, dengan melakukan observasi klinis disertai pemantauan perembesan plasma, yang dapat diketahui dari peningkatan kadar hematokrit. Peningkatan hematokrit 20 % atau lebih mencerminkan perembesan plasma dan merupakan indikasi untuk pemberian cairan. Larutan garam isotonik atau ringer laktat sebagai cairan awal pengganti volume plasma dapat diberikan sesuai dengan berat ringan penyakit.
            Penatalaksanaan DBD dapat dilakukan sesuai kasus yang terjadi, seperti berikut ini:
1.    Kasus DBD yang diperkenankan berobat jalan
Bila penderita hanya mengeluh panas, tetapi keingingan makan dan minum masih baik. Untuk mengatasi panas tinggi yang mendadak diperkenankan memberikan obat panas paracetamol 10 – 15 mg/kg BB setiap 3-4 jam diulang jika simptom panas masih nyata diatas 38,5 0C. Obat panas salisilat tidak dianjurkan karena mempunyai resiko terjadinya penyulit perdarahan dan asidosis. Sebagian besar kasus DBD yang berobat jalan ini adalah kasus DBD yang menunjukkan manifestasi panas hari pertama dan hari kedua tanpa menunjukkan penyulit lainnya.
Apabila penderita DBD ini menunjukkan manifestasi penyulit hipertermi dan konvulsi sebaiknya kasus ini dianjurkan di rawat inap.
2.    Kasus DBD derajat I & II
Pada hari ke 3, 4, dan 5 panas dianjurkan rawat inap karena penderita ini mempunyai resiko terjadinya syok. Untuk mengantisipasi kejadian syok tersebut, penderita disarankan diinfus cairan kristaloid dengan tetesan berdasarkan tatanan 7, 5, 3.
Pada saat fase panas penderita dianjurkan banyak minum air buah atau oralit yang biasa dipakai untuk mengatasi diare. Apabila hematokrit meningkat lebih dari 20% dari harga normal, merupakan indikator adanya kebocoran plasma dan ssebaiknya penderita dirawat di ruang observasi di pusat rehidrasi selama kurun waktu 12-24 jam.
Penderita DBD yang gelisah dengan ujung ekstremitas yang teraba dingin, nyeri perut dan produksi air kemih yang kurang sebaiknya dianjurkan rawat inap. Penderita dengan tanda-tanda perdarahan dan hematokrit yang tinggi harus dirawat di rumah sakit untuk segera memperoleh cairan pengganti.
Volume dan macam cairan pengganti penderita DBD sama dengan seperti yang digunakan pada kasus diare dengan dehidrasi sedang (6-10% kekurangan cairan) tetapi tetesan harus hati-hati. Kebutuhan cairan sebaiknya diberikan kembali dalam waktu 2-3 jam pertama dan selanjutnya tetesan diatur kembali dalam waktu 24-48 jam saat kebocoran plasma terjadi. Pemeriksaan hematokrit secara seri ditentukan setiap 4-6 jam dan mencatat data vital dianjurkan setiap saat untuk menentukan atau mengatur agar memperoleh jumlah cairan pengganti yang cukup dan mencegah pemberian transfusi berulang. Perhitungan secara kasar sebagai berikut :
(ml/jam) = ( tetesan / menit ) x 3
Jumlah cairan yang dibutuhkan adalah volume minimal cairan pengganti yang cukup untuk mempertahankan sirkulasi secara efektif selama periode kebocoran (24-48 jam),  pemberian cairan yang berlebihan akan menyebabkan kegagalan faal pernafasan (efusi pleura dan asites), menumpuknya cairan dalam jaringan paru yang berakhir dengan edema.
Jenis Cairan
1. Kristaloid
·      Ringer Laktat
·      5% Dekstrose di dalam larutan Ringer Laktat
·      5% Dekstrose di dalam larutan Ringer Ashering
·      5% Dekstrose di dalam larutan setengah normal garam fisiologi (faali), dan
·      5% Dekstrose di dalam larutan normal garam fisiologi (faali)
2. Koloidal
·      Plasma expander dengan berat molekul rendah (Dekstran 40)
·      Plasma
Kebutuhan Cairan
Tabel 1. Kebutuhan cairan untuk dehidrasi sedang
Berat waktu masuk (kg)
Jumlah cairan ml/kg BB per hari
< 7
220
7 – 11
165
12 – 18
132
> 18
88
Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur dan berat badan pasien serta derajat kehilangan plasma sesuai dengan derajat hemokonsentrasi yang terjadi. Pada anak yang gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat badan ideal anak umur yang sama. Kebutuhan cairan rumatan dapat diperhitungkan dari tabel berikut.
Tabel 2. Kebutuhan cairan rumatan
Berat badan (kg)
Jumlah cairan (ml)
10
100 per kg BB
10 – 20
1000 + 50 x kg (diatas 10 kg)
> 20
1500 + 20 x kg (diatas 20 kg)

3. Kasus DBD derajat III & IV
Dengue Shock Syndrome” (sindrome renjatan dengue) termasuk kasus kegawatan yang membutuhkan penanganan secara cepat dan perlu memperoleh cairan pengganti secara cepat.
Biasanya dijumpai kelainan asam basa dan elektrolit (hiponatremi). Dalam hal ini perlu dipikirkan kemungkinan dapat terjadi DIC. Terkumpulnya asam dalam darah mendorong terjadinya DIC yang dapat menyebabkan terjadinya perdarahan hebat dan renjatan yang sukar diatasi.
Penggantian secara cepat plasma yang hilang digunakan larutan gaam isotonik (Ringer Laktat, 5% Dekstrose dalam larutan Ringer Laktat atau 5% Dekstrose dalam larutan Ringer Asetat dan larutan normal garam faali) dengan jumlah 10-20 ml/kg/1 jam atau pada kasus yang sangat berat (derajat IV) dapat diberikan bolus 10 ml/kg (1 atau 2x). Jika syok berlangsung terus dengan hematokrit yang tinggi, larutan koloidal (dekstran dengan berat molekul 40.000 di dalam larutan normal garam faal atau plasma) dapat diberikan dengan jumlah 10-20 ml/kg/jam.
Selanjutnya pemberian cairan infus dilanjutkan dengan tetesan yang diatur sesuai dengan plasma yang hilang dan sebagai petunjuk digunakan harga hematokrit dan tanda-tanda vital yang ditemukan selama kurun waktu 24-48 jam. Pemasangan central venous pressure dan kateter urinal penting untuk penatalaksanaan penderita DBD yang sangat berat dan sukar diatasi. Cairan koloidal diindikasikan pada kasus dengan kebocoran plasma yang banyak sekali yang telah memperoleh cairan kristaloid yang cukup banyak.
Pada kasus bayi, dianjurkan 5% dekstrose di dalam setengah larutan normal garam faali (5% dekstrose ½NSS) dipakai pada awal memperbaiki keadaan penderita dan 5% dekstrose di dalam 1/3 larutan normal garam faali boleh diberikan pada bayi dibawah 1 tahun, jika kadar natrium dalam darah normal. Infus dapat dihentikan bila hematokrit turun sampai 40% dengan tanda vital stabil dan normal. Produksi urine baik merupakan indikasi sirkulasi dalam ginjal cukup baik. Nafsu makan yang meningkat menjadi normal dan produksi urine yang cukup merupakan tanda penyembuhan.
Pada umumnya 48 jam sesudah terjadi kebocoran atau renjatan tidak lagi membutuhkan cairan. Reabsorbsi plasma yang telah keluar dari pembuluh darah membutuhkan waktu 1-2 hari sesudahnya. Jika pemberian cairan berkelebihan dapat terjadi hipervolemi, kegagalan faal jantung dan edema baru. Dalam hal ini hematokrit yang menurun pada saat reabsorbsi jangan diintepretasikan sebagai perdarahan dalam organ. Pada fase reabsorbsi ini tekanan nadi kuat (20 mmHg) dan produksi urine cukup dengan tanda-tanda vital yang baik.

Koreksi Elektrolit dan Kelainan Metabolik
Pada kasus yang berat, hiponatremia dan asidosis metabolik sering dijumpai, oleh karena itu kadar elektrolit dan gas dalam darah sebaiknya ditentukan secara teratur terutama pada kasus dengan renjatan yang berulang. Kadar kalium dalam serum kasus yang berat biasanya rendah, terutama kasus yang memperoleh plasma dan darah yang cukup banyak. Kadang-kadang terjadi hipoglikemia.

B.  Terapi Oksigen
Semua penderita dengan renjatan sebaiknya diberikan oksigen

C.  Transfusi Darah
Penderita yang menunjukkan gejala perdarahan seperti hematemesis dan melena diindikasikan untuk memperoleh transfusi darah. Darah segar sangat berguna untuk mengganti volume masa sel darah merah agar menjadi normal.

v  Kelainan Ginjal
Dalam keadaan syok, harus yakin benar bahwa penggantian volume intravaskular telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum mencukupi 2 ml/kgBB/jam sedangkan cairan yang diberikan sudah sesuai kebutuhan, maka selanjutnya furasemid 1 mg/kgBB dapat diberikan. Pemantauan tetap dilakukan untuk jumlah diuresis, kadar ureum dan kreatinin. Tetapi apabila diuresis tetap belum mencukupi, pada umumnya syok juga belum dapat dikoreksi dengan baik, maka pemasangan CVP (central venous pressure) perlu dilakukan untuk pedoman pemberian cairan selanjutnya.
v  Monitoring
Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara teratur untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada monitoring adalah:
  • Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15-30 menit atau lebih sering, sampai syok dapat teratasi.
  • Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sampai keadaan klinis pasien stabil
  • Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis cairan, jumlah, dan tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah mencukupi.
  • Jumlah dan frekuensi diuresis.
Pada pengobatan syok, kita harus yakin benar bahwa penggantian volume intravaskuler telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum cukup 1 ml/kg/BB, sedang jumlah cairan sudah melebihi kebutuhan diperkuat dengan tanda overload antara lain edema, pernapasan meningkat, maka selanjutnya furasemid 1 mg/kgBB dapat diberikan. Pemantauan jumlah diuresis, kadar ureum dankreatinin tetap harus dilakukan. Tetapi, apabila diuresis tetap belum mencukupi, pada umumnya syok belum dapat terkoreksi dengan baik, maka pemberian dopamia perlu dipertimbangkan.



D.  Kriteria Memulangkan Pasien
Pasien dapat dipulangkan, apabila:
  • Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
  • Nafsu makan membaik
  • Tampak perbaikan secara klinis
  • Hematokrit stabil
  • Tiga hari setelah syok teratasi
  • Jumlah trombosit > 50.000/μl
  • Tidak dijumpai distress pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)

E.  Ruang Khusus Gawat Darurat Penderita DBD
Untuk mencapai pelayanan yang lebih baik, penderita DBD sebaiknya diletakkan di ruang kegawatan yang dilengkapi sarana mencegah penularan penyakit DBD di rumah sakit. Paramedis dan orang tua diharapkan dapat membantu pemberian cairan per oral dan mengamati cairan yang diberikan melalui infus dan keadaan umum penderita.



F.   Alur Penatalaksanaan Tersangka DBD
Bagan 2 :

Bagan 3 :

Bagan 4 :




II.2.8 Prognosis
Manifestasi ini termasuk fenomena sistem saraf pusat seperti kejang, spastisitas, perubahan kesadaran, dan parese sementara. Bentuk kejang halus kadang terjadi pada fase demam pada bayi. Intoksikasi air akibat pemberian cairan isotonik berlebihan untuk mengatasi pasien DHF/ DSS dengan hiponatremi dapat menimbulkan ensefalopati. Perawatan dengan sangat hati-hati harus dilakukan untuk mencegah komplikasi iatrogenik termasuk sepsis, pneumonia, infeksi luka, dan hidrasi berlebihan.   Serotipe dengue 1, 2, dan 3 telah diisolasi dari pasien yang meninggal karena gagal hati, dengan infeksi dengue primer maupun sekunder. Hepatosit nekrosis sekunder ditemukan meluas pada beberapa kasus ini. Manifestasi lainnya mencakup gagal ginjal dan sindrom uremik hemolitik, kadang pada pasien dengan keadaan defisiensi glukosa-6-fosfat dehisrogenase (G6PD) dan hemoglobinopati.

II.2.9 Komplikasi
Demam Berdarah Dengue dapat berlanjut menjadi Sindrom Syok Dengue karena kebocoran plasma yang terjadi tidak ditangani dengan tepat. Pasien dapat jatuh ke dalah kondisi syok yang berat dan berpotensi menyebabkan kematian.
Virus dengue yang dapat menembus sawar darah otak juga dapat menyebabkan Ensefalopati Dengue. Demam pada pasien jika tidak diatasi berpotensi menimbulkan kejang demam terutama pada anak dengan riwayat kejang demam sebelumnya. Kebocoran plasma yang terjadi juga dapat menimbulkan efusi pleura dan menimbulkan sesak pada pasien.

II.2.10 Pencegahan
Sampai saat ini pengobatan demam berdarah dilakukan melalui pemberian obat dan pemberian vaksin. Namun, sampai saat ini belum ada vaksin yang benar-benar mampu untuk mencegah seseorang terkena dema, berdarah.Cara yang paling mudah dan efektif untuk menghindari penyakit ini adalah mencegahnya. Upaya pencegahan yang dapat dilakukan diantaranya adalah :
a.    Menghindari gigitan nyamuk di siang hari karena nyamuk demam berdarah adalah nyamuk yang aktif di siang hari. Cara untuk menghindari gigitan nyamuk salah satunya adalah dengan menggunakan lotion anti nyamuk, hal ini sangat efektif untuk anak-anak dan balita mengingat banyak korban demam berdarah adalah anak-anak.
b.    Menjaga kerbersihan lingkungan dengan 3M yaitu menguras bak mandi seminggu sekali sekaligus menaburkan bubuk abate pada air, mengubur barang-barang bekas yang mampu menampung air, menutup tempat-tempat penampungan air. Selain itu juga jangan menggantung baju bekas pakai karena akan digunakan nyamuk untuk bersarang.
c.    Memelihara ikan-ikan pemakan jentik nyamuk di kolam-kolam.
Demam berdarah dapat dicegah dengan memberantas jentik-jentik nyamuk Demam Berdarah (Aedes aegypti) dengan cara melakukan PSN (Pembersihan Sarang Nyamuk). Upaya ini merupakan cara yang terbaik, ampuh, murah, mudah dan dapat dilakukan oleh masyarakat, dengan cara sebagai berikut :
1.    Bersihkan (kuras) tempat penyimpanan air (seperti : bak mandi/WC, drum, dan lain-lain) sekurang-kurangnya seminggu sekali. Gantilah air di vas bunga, tempat minum burung, perangkap semut dan lain-lain sekurang-kurangnya seminggu sekali
2.    Tutuplah rapat-rapat tempat penampungan air, seperti tempayan, drum, dan lain-lain agar nyamuk tidak dapat masuk dan berkembang biak di tempat itu
Kubur atau buanglah pada tempatnya barang-barang bekas, seperti kaleng bekas, ban bekas, botol-botol pecah, dan lain-lain yang dapat menampung air hujan, agar tidak menjadi tempat berkembang biak nyamuk. Potongan bambu, tempurung kelapa, dan lain-lain agar dibakar bersama sampah lainnya.
3.    Tutuplah lubang-lubang pagar pada pagar bambu dengan tanah atau adukan semen.
4.    Lipatlah pakaian/kain yang bergantungan dalam kamar agar nyamuk tidak hinggap disitu.
5.    Untuk tempat-tempat air yang tidak mungkin atau sulit dikuras, taburkan bubuk ABATE ke dalam genangan air tersebut untuk membunuh jentik-jentik nyamuk.
6.    Ulangi hal ini setiap 2-3 bulan sekali.
Cara Memberantas Nyamuk Aedes aegypti :
1.    Penyemprotan dengan menggunakan zat kimia
2.    Pengasapan dengan insektisida
3.    Memutus daur hidup nyamuk dengan menggunakan ovitrap dan memberi ikan cupang di tempat penampungan air.
Untuk memberantas jentik-jentik nyamuk dapat menggunakan serbuk ABATE, dengan komposisi takaran sebagai berikut: Untuk 10 liter air cukup dengan 1 gram serbuk ABATE. Bila memerlukan ABATE kurang dari 10 gram, maka dapat dilakukan sebagai berikut :
1.    Ambil 1 sendok makan ABATE dan tuangkan pada selembar kertas
2.    Lalu bagilah ABATE menjadi 2, 3, atau 4 bagian sesuai dengan takaran yang dibutuhkan
Setelah dibubuhkan ABATE maka :
1.    Selama 3 bulan bubuk ABATE dalam air tersebut mampu membunuh jentik Aedes aegypti
2.    Selama 3 bulan bila tempat penampungan air tersebut akan dibersihkan/diganti airnya, hendaknya jangan menyikat bagian dalam dinding tempat penampungan air tersebut
Air yang telah dibubuhi ABATE dengan takaran yang benar, tidak membahayakan dan tetap aman bila air tersebut diminum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar