Definisi
Demam berdarah dengue adalah penyakit
infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam,
nyeri otot dan/atau nyeri sendi, yang disertai leucopenia, ruam, limfadenopati,
trombositopenia dan diathesis hemoragik.
II.2.2
Epidemiologi
DBD ditransmisikan dari orang ke orang melalui
gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopticus. Penularan penyakit ini
dimulai dengan nyamuk Aedes aegypty
yang menggigit orang sakit yang telah terinfeksi virus dengue. Nyamuk tersebut
kemudian telah membawa virus, dimana nantinya virus akan bereplikasi didalam
kelenjar saliva nyamuk tersebut. Nyamuk yang telah siap menginvasi kemudian
menggigit individu sehat. Sehingga orang sehat akhirnya tertular virus dengue.
Begitu seterusnya hingga terjadi penyebaran penyakit yang meluas. Beberapa
factor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus dengue, yaitu :
1. Vektor
: perkembangbiakan vector, kebiasaan menggigit, kepadatan vector di lingkungan,
dan transportasi vector dari satu tempat ke tempat yang lain.
2. Penjamu
: terdapatnya penderita di lingkungan/keluarga, mobilisasi dan paparan terhadap
nyamuk, usia dan jenis kelamin
3. Lingkungan
: curah hujan, suhu, sanitasi, dan kepadatan penduduk.
Sekitar 250.000 kasus DBD terjadi di
seluruh dunia, dimana lebih dari 12.000 diantaranya berakhir dengan kematian.
Virus dengue terdistribusi pada daerah tropis dan subtropics sebagian besar
pada Asia Tenggara (semua serotype), Kepulauan Pasifik (tipe 2), Afrika Barat
(tipe 3), Afrika Timur (tipe 2), Karibia (tipe 1 dan 4), dan Amerika (tipe 2
dan 3). Indonesia sendiri merupakan daerah endemis dengan sebaran diseluruh
tanah air. Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.00 penduduk
(1989 hingga 1995); dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga
35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan mortalitas DBD cenderung
menurun hingga mencapai 2% pada tahun 1999. DBD menyerang hampir semua kalangan
tanpa memandang usia dan jenis kelamin.
II.2.3
Etiologi
Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue
disebabkan oleh virus dengue yang termasuk dalam genus flavivirus, keluarga
flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari
asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106.
Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1,
DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue maupun
demam berdarah dengue. Keempat serotype ini ditemukan di Indonesia dengan DEN-3
merupakan serotype terbanyak. Terdapat reaksi silang antara serotype dengue
dengan flavivirus lain seperti yellow fever, Japanese enchepalitis, dan west nile
virus. Antara serotype dengue satu dengan yang lainnya, tidak terdapat cross
protection, sehingga individu yang telah memiliki riwayat terinfeksi virus
dengue sebelumnya dapat terinfeksi kembali dengan serotype virus yang lainnya.
Infeksi sekunder yang terjadi biasanya beresiko menimbulkan keparahan dan
biasanya inilah yang berkembang menjadi DBD.
II.2.4 Patogenesis
Virus merupakan mikrooganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel hidup. Maka
demi kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing dengan sel manusia sebagai pejamu (host) terutama
dalam mencukupi kebutuhan akan protein. Persaingan tersebut sangat tergantung
pada daya tahan pejamu, bila daya tahan
baik maka akan terjadi penyembuhan dan timbul antibodi, namun bila daya tahan
rendah maka perjalanan penyakit menjadi makin
berat dan bahkan dapat menimbulkan kematian.
Patogenesis DBD dan SSD
(Sindrom syok dengue) masih merupakan
masalah yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada DBD
dan SSD adalah hipotesis infeksi
sekunder (teori secondary heterologous infection) atau hipotesis immune
enhancement. Hipotesis ini menyatakan
secara tidak langsung bahwa pasien yang mengalami infeksi yang
kedua kalinya dengan serotipe virus dengue
yang heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD.
Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan
menginfeksi dan kemudian membentuk
kompleks antigen antibodi yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari
membran sel leokosit terutama makrofag.
Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh
sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag.
Dihipotesiskan juga mengenai
antibodi dependent enhancement (ADE) , suatu proses yang akan
meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear.
Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif
yang kemudian menyebabkan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia
dan syok. Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary heterololous infection
dapat dilihat pada Gambar 1 yang dirumuskan oleh Suvatte, tahun 1977. Sebagai
akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengueyang berlainan pada seorang
pasien, respons antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari
mengakibatkan proliferasi dan
transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG
anti dengue. Disamping itu, replikasi
virus dengue terjadi juga dalam limfosit
yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah
banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi
(virus antibody complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem
komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding
pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intervaskular ke ruang
ekstravaskular. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang
sampai lebih dari 30% dan berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma ini terbukti
dengan adanya peningkatan hematokrit, penurunan kadar natium, dan terdapatnya
caiaran di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Syok yang tidak
ditanggulangi secara adekuat akan menyebabkan asidosi dan anoksia yang dapat
berakhir fatal. Oleh karena itum pengobatan syok sangat penting guna mencegah
kematian.
Hipotesis kedua, menyatakan
bahwa virus dengue seperti juga virus binatang lain dapat mengalami perubahan
genetik akibat tekanan sewaktu visus mengadakan replikasi baik pada tubuh
manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik
dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia,
peningkatan virulensi dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabahyang besar.
Kedua hipoteisi tersebut didukung oleh data epidemiologis dan laboratoris.
Sebagai
tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi selain
mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivitasi sistem koagulasi melalui
kerusakan sel endotel pembuluh darah gambar 2). Kedua faktor tersebut akan
menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari
perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan
pengeluaran ADP (adenosin di phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama
iain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo
endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini
akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya
koagulopati konsumtif (KID = koagulasi intravaskular deseminata), ditandai
dengan peningkatan FDP (fibrinogen degredation product) sehingga terjadi
penurunan faktor pembekuan.
Spektrum Klinis
Infeksi virus
dengue tergantung dari faktor yang mempengaruhi daya tahan tubuh dengan
faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus. Dengan demikian infeksi virus
dengue dapat menyebabkan keadaan yang bermacam-macam, mulai dari tanpa gejala
(asimtomatik), demam ringan yang tidak spesifik (undifferentiated febrile illness), Demam Dengue, atau bentuk
yang lebih berat yaitu Demam berdarah Dengue (DBD) dan Sindrom Syok Dengue
(SSD).
II.2.5
Manifestasi Klinis
Bentuk klasik
dari DBD ditandai dengan demam tinggi, mendadak 2-7 hari, disertai dengan muka
kemerahan. Keluhan seperti anoreksia, sakit kepala, nyeri otot, tulang, sendi,
mual, dan muntah sering ditemukan. Beberapa penderita mengeluh nyeri menelan
dengan farings hiperemis ditemukan pada pemeriksaan, namun jarang ditemukan
batuk pilek. Biasanya ditemukan juga nyeri perut dirasakan di epigastrium dan
dibawah tulang iga. Demam tinggi dapat menimbulkan kejang demam terutama pada
bayi. Bentuk perdarahan yang paling sering adalah uji tourniquet (Rumple leede)
positif, kulit mudah memar dan perdarahan pada bekas suntikan intravena atau
pada bekas pengambilan darah. Kebanyakan kasus, petekia halus ditemukan
tersebar di daerah ekstremitas, aksila, wajah, dan palatumole, yang biasanya
ditemukan pada fase awal dari demam. Epistaksis dan perdarahan gusi lebih
jarang ditemukan, perdarahan saluran cerna ringan dapat ditemukan pada fase
demam. Hati biasanya membesar dengan variasi dari just palpable sampai 2-4 cm
di bawah arcus costae kanan. Sekalipun pembesaran hati tidak berhubungan dengan
berat ringannya penyakit namun pembesar hati lebih sering ditemukan pada
penderita dengan syok. Masa kritis dari penyakit terjadi pada akhir fase demam,
pada saat ini terjadi penurunan suhu yang tiba-tiba yang sering disertai dengan
gangguan sirkulasi yang bervariasi dalam berat-ringannya. Pada kasus dengan
gangguan sirkulasi ringan perubahan yang terjadi minimal dan sementara, pada
kasus berat penderita dapat mengalami syok.
II.2.6 Penegakan Diagnosis
a.
Kriteria klinis DBD
- Demam akut (tetap tinggi selama 2-7 hari), kemudian turun secara lisis. Demam disertai gejala tidak spesifik seperti anoreksia, lemah, nyeri pada punggung, tulang, persendian dan kepala.
- Manifestasi perdarahan
-
Uji
torniquet (+)
-
Ptekia,
pur-pura, ekimosis
-
Epitaksis,
perdarahan gusi
-
Hematemesis,
melena
- Hepatomegali dengan nyeri tekan
- Dengan atau tanpa syok
·
Syok biasanya terjadi pada saat demam menurun (hari ke 3-7). Syok
yang terjadi pada saat demam biasanya punya prognosis
buruk.
- Kenaikan nilai hematokrit / hemokonsentrasi
b.
Derajat beratnya penyakit
DBD secara klinis:
- Derajat I (ringan)
Demam mendadak 2-7
hari disertai gejala klinis laindengan manifestasi perdarahan teringan : yaitu
uji torniquet (+).
- Derajat II (sedang)
Ditemukan
perdarahan kulit dan manifestasi perdarahan lain.
- Derajat III : ditemukan tanda-tanda dini syok.
- Derajat IV : ditemukan DDS dengan tensi dan nadi tidak terukur.
c.
Berdasarkan
kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal dibawah ini dipenuhi
:
1)
Demam
atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik
2)
Terdapat
minimal 1 dari manifestasi perdarahan berikut
:
Ø
Uji
bendung posistif
Ø
Pteki,
ekimosis, atau purpura
Ø
Perdarahan
mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi)
Ø
Hematemesis
atau melena
3) Trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/ul)
4) Terdapat minimal 1 tanda-tanda plasma leakage
(kebocoran plasma) sebagai berikut:
Ø
Peningkatan
hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis kelamin
Ø
Penurunan
hematokrit> 20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan nilai
hematokrit sebelumnya
Ø
Tanda
kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites, hipoproteinemia
Sedangkan pasien
dikatakan mengalami Sindrom Syok Dengue apabila seluruh kriteria diatas
disertai dengan kegagalan sirkulasi dengan manifestasi perdarahan yang cepat dan
lemah, tekanan darah turun ( 20 mmHg),
hipotensi dibandingkan standar sesuai umur, kulit dingin, dan lembab, serta
gelisah.
Berikut ini
tabel yang menggambarkan jelas mengenai manifestasi klinis yang biasa timbul
pada infeksi virus dengue sesuai dengan derajatnya. DBD derajat III dan IV juga disebut sindrom syok dengue.
DD/DBD
|
Derajat
|
Gejala
|
Laboratorium
|
DD
|
|
Demam
disertai 2 atau lebih tanda : sakit kapala, nyeri retro-orbital, mialgia,
atralgia
|
·
Leukopenia
·
trombositopenia, tidak ditemukan bukti kebocoran plasma
·
serologi dengue positif
|
DBD
|
I
|
Gejala
diatas ditambah uji bendung positif
|
Trombositopenia
(<100.000/ul),
bukti ada
kebocoran plasma
|
DBD
|
II
|
Gejala
diatas ditambah perdarahan spontan
|
Trombositopenia
(<100.000/ul), bukti ada kebocoran plasma
|
DBD
|
III
|
Gejala
diatas ditambah kegagalan sirkulasi (kulit, dingin,dan
lembab serta gelisah)
|
Trombositopenia
(<100.000/ul), bukti ada kebocoran plasma
|
DBD
|
IV
|
Syok berat
disertai dengan tekanan darah dan nadi tidak terukur
|
Trombositopenia
(<100.000/ul), bukti ada kebocoran plasma
|
d.
Kriteria Klinis menurut
WHO :
1.
Kriteria Klinis
§ Demam
tinggi mendadak , tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-menerus selama 2-7
hari.
§ Terdapat
manifestasi perdarahan.
§ Hepatomegali
§ Syok
2.
Kriteria Laboratorium
§ Trombositopenia
(100000 mm³ atau kurang)
§ Hemokonsentrasi,
dapat dilihat dari peningkatan hematokrit 20% atau lebih.
Dua
kriteria pertama ditambah trombositopenia atau hemokonsentrasi cukup untuk
menegakkan diagnosis DBD.
e.
Kriteria
Laboratorium
Ada empat
jenis pemeriksaan laboratorium yang digunakan untuk diagnosis DBD, yaitu uji
serologi, isolasi virus, deteksi antigen, dan deteksi DNA/RNA menggunakan
teknik Polymerase Chain Reaction (PCR).
1.
Uji
Serologi
Ada lima macam uji serologi yang biasa dilakukan,
yaitu :
Ø Penghambatan Pembekuan Darah (HI)
Diantara kelima macam pengujian, Hi
paling sering digunakan karena sifatnya yang sensitive, mudah dikerjakan,
memerlukan peralatan paling sedikit, dan hasilnya paling dapat dipercaya jika
dilaksanakan secara benar sesuai prosedur. Antibodi HI dapat bertahan dalam
jangka waktu lam (mencapai 48 tahun, bahkan lebih), sehingga uji ini ideal
untuk pembelajaran epidemiologi. Kekurangan pengujian ini adalah spesifitasnya
sangat rendah sehinggan tidak dapat diandalkan untuk dapat mengidentifikasi
infeksi serotype virus. Namun, beberapa pasien dengan infeksi primer menunjukkan
respon HI tunggal secara relative yang umumnya berhubungan denagn virus yang
diisolasi.
Ø Ikatan Komplemen (CF)
Uji ikatan komplemen (CF) jarang
digunakan dalam uji serologis diagnosis dengue. Pengujian ini lebih sulit
dilakukan karena membutuhkan tenaga terltih dan professional, sehingga uji ini
tidak digunakan pada sebagian besar laboratorium.
Pengujian ini berdasarkan prinsip bahwa
komplemen dibutuhkan selama reaksi antigen-antibodi. Antibody CF umumnya
terlihat setelah antibody HI. Antibodi CF lebih spesifik pada infeksi primer
dan biasanya hanya bertahan dalam waktu singkat walaupun ada beberapa kasus
antibody pada kadar rendah dapat bertahan pada beberapa orang. Spesifitas yang
lebih besar pada uji ini saat infeksi primer ditunjukkan oleh respon CF
monotype, dimana respon HI sangat heterotipe. Tetapi uji CF tidak spesifik pada
infeksi sekunder. Pengujian ini sangat berguna bagi pasien saat ini, tetapi
nilainya terbatas untuk pembelajaran seroepidemiologi, dimana reaksi dari
antibody yang tertahan adalah penting.
Ø Uji Netralisasi
Uji netralisasi adalah pengujian
serologi terhadap virus dengue yang paling spesifik dan sensitive. Protocol
yang paling sering digunakan dalam laboratorium adalah uji penetralan reduksi
plaque cairan serum. Pada umumnya titer penetralan antibody meningkat pada saat
yang sama atau sedikit lebih lambat dai pada titer antibidi HI dan ELISA tetapi
jauh lebih cepat daripada titer antibody CF dan betahan minimal selama 48
tahun. Oleh karena NT lebih sensitive maka penetralan antibody diwujudkan
dengan tidak ditemukan antibody Hi pada beberapa orang yang pernah menderita
infeksi dengue.
Secara umum respon penetralan antibody
monotype diamati dalam serum pada waktu fase penyembuhan. Pada kasus-kasus yang
memberikan respon tunggal, interpretasi dari semua pengujian umumnya dapat
dipercaya. NT dapat digunakan
untuk pembelajaran seroepidmiologi karena penetralan antibody besifat tahan
lama. Pengujian ini tidak digunakan secara rutin oleh sebagian besar
laboratorium Karena dibutuhkan biaya yang mahal, waktu yang lama, dan teknik
yang sulit.
Ø Immunoglobulin M (IgM)
Antibodi dengue IgM berkembang sedikt
lebih cepat dari pada antibody IgG pada specimen virus yang didiagnosis.
Antibody IgM diproduksi oleh pasien yang menderita infeksi dengue primer dan
sekunder yang terjadi secara bersamaan dan mungkin juga oleh orang yang terkena
infeksi tersier. Teter antibody IgM pada pada infeksi primer secara signifikan
lbih tinggi dari infeksi sekunder.
Ø Uji ELISA
Uji ELISA atau MAC-ELISA merupakan uji
serologi yang secara luas digunakan selama beberapa tahun terakhir dalam
diagnosis dengue. Uji elisa ini sederhana dan hanya membutuhkan sedikit
peralatan yang rumit. Uji ELISA dalam diagnosis infeksi dengue pada sampel
serum fase akut sedikit lebih senssitif dari pada uji HI.ada kenungkina respon
yang didapat dari HI adalah posotof palsu karena setelah dikakukan uji ELISA
didapatka hasil yang negative, sehingga dalam hal ini, uji ELISA dapat
memperkecil kesalahan diagnosis.
Spesifitas uji ELISA hampir sama dengan
uji HI. Selain itu, pada daerah endemic dengue, uji ELISA dapat dilakukan untuk
menguji specimen serumdalam jumlah banyak dengan biaya murah, khususnya untuk
pasien yang di rawat di rumah sakit karena pada umumnya mereka dating setelah
IgM terdeteksi dalam darah mereka. Kekurangannya adalah uji ini tidak dapat
digunakan untuk mengidentifikasi infeksi serotype virus yang serupa seperti
pada HI.
2.
Isolasi
virus
Keberhasilan
isolasi virus sangat bergantung pada saat pengambilan darah, jumlah darah, proses
pengiriman darah ke laboratorium dan teknik pengujian di laboratorium. Karena
hasil pemeriksaan memerlukan waktu kira-kira 1 minggu atau lebih dan secara
teknik sukar, cara ini kurang dianjurkan untuk pemeriksaan rutin.
3.
Deteksi
Antigen
Metode
pilihan identifikasi virus melalui deteksi antigen adalah Immunoglobulin
Fluorescent Antibody (IFA), pengujian ini mudah dilaksanakan (dengan kultur sel
terinfeksi atau jaringan otak nyamuk), sederhana, dapat dipercaya, dan metode
yang paling cepat.
Kesuksesan mengisolasi virus dengue dari serum manusia
tergantung dari beberapa faktor, yaitu:
·
Pelaksanaan
dan penyimpanan specimen. Aktivitas virus dapat terhambat karena panas, pH, dan
bahan-bahan kimia tertentu.
·
Tingkat
viremia, dapat bervariasi tergantung pada waktu setelah onset, titer antibody,
dan strain virus yang menginveksi. Viremia biasanya mencapai puncak pada saat
atau sesaat sebelum onset waktu sakit dan dapat dideteksi rata-rata 4-5 hari.
·
Terlihatnya
antibody IgM pada virus yang diisolasi.
4.
Polymerase
Chain Reactor (PCR)
PCR merupakan metode baru untuk
mendiagnosis Dengue, PCR akan mendeteksi dan memberikan gambaran genomic
(RNA/DNA) sekuen virus dari jaringan otopsi, sediaan serum, atau cairan serebro
spinalis (CSS). PCR menghasilkan
diagnosis serotype spesifik yang cepat, sensitive, dan sederhana.
5.
Pemeriksaan
darah laboratorium
Pemeriksaan darah laboratorium
bermanfaat untuk mengetahui ada atau tidaknya infeksi virus Dengue, sudah
seberapa parah infeksi yang berlangsung, dan tindakan medis apa yang perlu
dilakukan. Pemeriksaan ini juga bermanfaat untuk memonitor kesembuhan pasien.
Secara umum
pemeriksaan laboratorium mencakup pemeriksaan trombosit, hematokrit, dan adanya
immunoglobulin jenis IgM. Berikut gambaran darah yang terinfeksi dengue
:
Ø
Trombositopeni
(penurunan jumlah trombosit) : Jumlah trombosit < 100.000/ml
Ø
Hematokrit
meningkat : Kenaikan Ht mencapai >20%
Ø
Leukopenia
(leukosit menurun): Leukosit < 5000 sel / mm3
Ø
Limfosis
: Peningkatan jumlah limfosit
atipikal mengidentifikasikan dalam waktu 24 jam pasien akan bebas demam serta
memasuki fase kritis.
Ø
Waktu
pendarahan memanjang
Ø
Sediaan
apus leukosit abnormal
Ø
IgM
dan IgG (setelah sebelumnya pernah terkena infeksi virus dengue)
II.2.7 Penatalaksanaan
A.
Pemberian
Cairan
Perbedaan patofisiologik utama antara DD/DBD/SSD dan penyakit
lain adalah peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan
plasma dan gangguan hemostasis. Gambaran klinis DBD/SSD sangat khas yaitu demam
tinggi mendadak, diastesis hemoragik, hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi.
Maka keberhasilan tatalaksana DBD terletak pada bagian mendeteksi secara dini
fase krisis yaitu saat suhu turun (the
time of defervescence) yang merupakan fase awal terjadnya kegagalan
sirkulasi, dengan melakukan observasi klinis disertai pemantauan perembesan
plasma, yang dapat diketahui dari peningkatan kadar hematokrit. Peningkatan
hematokrit 20 % atau lebih mencerminkan perembesan plasma dan merupakan
indikasi untuk pemberian cairan. Larutan garam isotonik atau ringer laktat
sebagai cairan awal pengganti volume plasma dapat diberikan sesuai dengan berat
ringan penyakit.
Penatalaksanaan DBD dapat dilakukan sesuai kasus yang
terjadi, seperti berikut ini:
1. Kasus
DBD yang diperkenankan berobat jalan
Bila penderita
hanya mengeluh panas, tetapi keingingan makan dan minum masih baik. Untuk
mengatasi panas tinggi yang mendadak diperkenankan memberikan obat panas
paracetamol 10 – 15 mg/kg BB setiap 3-4 jam diulang jika simptom panas masih
nyata diatas 38,5 0C. Obat panas salisilat tidak dianjurkan karena mempunyai
resiko terjadinya penyulit perdarahan dan asidosis. Sebagian besar kasus DBD
yang berobat jalan ini adalah kasus DBD yang menunjukkan manifestasi panas hari
pertama dan hari kedua tanpa menunjukkan penyulit lainnya.
Apabila penderita
DBD ini menunjukkan manifestasi penyulit hipertermi dan konvulsi sebaiknya
kasus ini dianjurkan di rawat inap.
2. Kasus
DBD derajat I & II
Pada hari ke 3, 4, dan 5 panas
dianjurkan rawat inap karena penderita ini mempunyai resiko terjadinya syok.
Untuk mengantisipasi kejadian syok tersebut, penderita disarankan diinfus
cairan kristaloid dengan tetesan berdasarkan tatanan 7, 5, 3.
Pada saat fase panas penderita
dianjurkan banyak minum air buah atau oralit yang biasa dipakai untuk mengatasi
diare. Apabila hematokrit meningkat lebih dari 20% dari harga normal, merupakan
indikator adanya kebocoran plasma dan ssebaiknya penderita dirawat di ruang
observasi di pusat rehidrasi selama kurun waktu 12-24 jam.
Penderita DBD yang gelisah dengan ujung
ekstremitas yang teraba dingin, nyeri perut dan produksi air kemih yang kurang
sebaiknya dianjurkan rawat inap. Penderita dengan tanda-tanda perdarahan dan
hematokrit yang tinggi harus dirawat di rumah sakit untuk segera memperoleh
cairan pengganti.
Volume dan macam cairan pengganti penderita
DBD sama dengan seperti yang digunakan pada kasus diare dengan dehidrasi sedang
(6-10% kekurangan cairan) tetapi tetesan harus hati-hati. Kebutuhan cairan
sebaiknya diberikan kembali dalam waktu 2-3
jam pertama dan selanjutnya tetesan diatur kembali dalam waktu 24-48 jam saat
kebocoran plasma terjadi. Pemeriksaan hematokrit secara seri ditentukan setiap 4-6 jam dan
mencatat data vital dianjurkan setiap saat untuk menentukan atau mengatur agar
memperoleh jumlah cairan pengganti yang cukup dan mencegah pemberian
transfusi berulang. Perhitungan secara kasar sebagai berikut :
(ml/jam)
= ( tetesan / menit ) x 3
|
Jumlah cairan yang dibutuhkan adalah
volume minimal cairan pengganti yang cukup untuk mempertahankan sirkulasi
secara efektif selama periode kebocoran (24-48 jam), pemberian cairan yang berlebihan akan
menyebabkan kegagalan faal pernafasan (efusi pleura dan asites), menumpuknya
cairan dalam jaringan paru yang berakhir dengan edema.
Jenis Cairan
1. Kristaloid
· Ringer
Laktat
· 5%
Dekstrose di dalam larutan Ringer Laktat
· 5%
Dekstrose di dalam larutan Ringer Ashering
· 5%
Dekstrose di dalam larutan setengah normal garam fisiologi (faali), dan
·
5%
Dekstrose di dalam larutan normal garam fisiologi (faali)
2. Koloidal
· Plasma
expander dengan berat molekul rendah (Dekstran 40)
· Plasma
Kebutuhan Cairan
Tabel 1. Kebutuhan
cairan untuk dehidrasi sedang
Berat waktu masuk
(kg)
|
Jumlah cairan ml/kg
BB per hari
|
<
7
|
220
|
7
– 11
|
165
|
12
– 18
|
132
|
>
18
|
88
|
Pemilihan
jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur dan berat badan
pasien serta derajat kehilangan plasma sesuai dengan derajat hemokonsentrasi
yang terjadi. Pada anak yang gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat
badan ideal anak umur yang sama. Kebutuhan cairan rumatan dapat diperhitungkan
dari tabel berikut.
Tabel 2. Kebutuhan
cairan rumatan
Berat badan (kg)
|
Jumlah cairan (ml)
|
10
|
100
per kg BB
|
10
– 20
|
1000
+ 50 x kg (diatas 10 kg)
|
>
20
|
1500
+ 20 x kg (diatas 20 kg)
|
3.
Kasus DBD derajat III & IV
“Dengue Shock Syndrome” (sindrome renjatan
dengue) termasuk kasus kegawatan yang membutuhkan penanganan secara cepat dan
perlu memperoleh cairan pengganti secara cepat.
Biasanya dijumpai kelainan asam basa dan elektrolit
(hiponatremi). Dalam hal ini perlu dipikirkan kemungkinan dapat terjadi DIC.
Terkumpulnya asam dalam darah mendorong terjadinya DIC yang dapat menyebabkan
terjadinya perdarahan hebat dan renjatan yang sukar diatasi.
Penggantian secara
cepat plasma yang hilang digunakan larutan gaam isotonik (Ringer Laktat, 5%
Dekstrose dalam larutan Ringer Laktat atau 5% Dekstrose dalam larutan Ringer
Asetat dan larutan normal garam faali) dengan jumlah 10-20 ml/kg/1 jam atau
pada kasus yang sangat berat (derajat IV) dapat diberikan bolus 10 ml/kg (1
atau 2x). Jika syok berlangsung terus dengan
hematokrit yang tinggi, larutan koloidal (dekstran dengan berat molekul 40.000
di dalam larutan normal garam faal atau plasma) dapat diberikan dengan jumlah
10-20 ml/kg/jam.
Selanjutnya
pemberian cairan infus dilanjutkan dengan tetesan yang diatur sesuai dengan
plasma yang hilang dan sebagai petunjuk digunakan harga hematokrit dan
tanda-tanda vital yang ditemukan selama kurun waktu 24-48 jam. Pemasangan central venous pressure
dan kateter urinal penting untuk penatalaksanaan penderita DBD yang sangat
berat dan sukar diatasi. Cairan koloidal diindikasikan pada kasus dengan
kebocoran plasma yang banyak sekali yang telah memperoleh cairan kristaloid
yang cukup banyak.
Pada kasus bayi, dianjurkan 5%
dekstrose di dalam setengah larutan normal garam faali (5% dekstrose ½NSS)
dipakai pada awal memperbaiki keadaan penderita dan 5% dekstrose di dalam 1/3
larutan normal garam faali boleh diberikan pada bayi dibawah 1 tahun, jika
kadar natrium dalam darah normal. Infus
dapat dihentikan bila hematokrit turun sampai 40% dengan tanda vital stabil dan
normal. Produksi urine baik merupakan indikasi sirkulasi dalam ginjal cukup
baik. Nafsu makan yang meningkat menjadi normal dan produksi urine yang cukup
merupakan tanda penyembuhan.
Pada umumnya 48 jam
sesudah terjadi kebocoran atau renjatan tidak lagi membutuhkan cairan.
Reabsorbsi plasma yang telah keluar dari pembuluh darah membutuhkan waktu 1-2
hari sesudahnya. Jika pemberian cairan berkelebihan dapat terjadi hipervolemi,
kegagalan faal jantung dan edema baru. Dalam hal ini hematokrit yang menurun
pada saat reabsorbsi jangan diintepretasikan sebagai perdarahan dalam organ.
Pada fase reabsorbsi ini tekanan nadi kuat (20 mmHg) dan produksi urine cukup
dengan tanda-tanda vital yang baik.
Koreksi Elektrolit dan Kelainan Metabolik
Pada kasus yang berat, hiponatremia dan
asidosis metabolik sering dijumpai, oleh karena itu kadar elektrolit dan gas
dalam darah sebaiknya ditentukan secara teratur terutama pada kasus dengan
renjatan yang berulang. Kadar kalium dalam serum kasus yang berat biasanya
rendah, terutama kasus yang memperoleh plasma dan darah yang cukup banyak.
Kadang-kadang terjadi hipoglikemia.
B.
Terapi
Oksigen
Semua penderita dengan renjatan
sebaiknya diberikan oksigen
C.
Transfusi
Darah
Penderita yang menunjukkan gejala
perdarahan seperti hematemesis dan melena diindikasikan untuk memperoleh
transfusi darah. Darah segar sangat berguna untuk mengganti volume masa sel
darah merah agar menjadi normal.
v Kelainan Ginjal
Dalam keadaan syok, harus yakin benar
bahwa penggantian volume intravaskular telah benar-benar terpenuhi dengan baik.
Apabila diuresis belum mencukupi 2 ml/kgBB/jam sedangkan cairan yang diberikan
sudah sesuai kebutuhan, maka selanjutnya furasemid 1 mg/kgBB dapat diberikan.
Pemantauan tetap dilakukan untuk jumlah diuresis, kadar ureum dan kreatinin.
Tetapi apabila diuresis tetap belum mencukupi, pada umumnya syok juga belum
dapat dikoreksi dengan baik, maka pemasangan CVP (central venous pressure)
perlu dilakukan untuk pedoman pemberian cairan selanjutnya.
v Monitoring
Tanda vital dan kadar hematokrit harus
dimonitor dan dievaluasi secara teratur untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal
yang harus diperhatikan pada monitoring adalah:
- Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15-30 menit atau lebih sering, sampai syok dapat teratasi.
- Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sampai keadaan klinis pasien stabil
- Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis cairan, jumlah, dan tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah mencukupi.
- Jumlah dan frekuensi diuresis.
Pada pengobatan syok, kita harus
yakin benar bahwa penggantian volume intravaskuler telah benar-benar terpenuhi
dengan baik. Apabila diuresis belum cukup 1 ml/kg/BB, sedang jumlah cairan
sudah melebihi kebutuhan diperkuat dengan tanda overload antara lain edema,
pernapasan meningkat, maka selanjutnya furasemid 1 mg/kgBB dapat diberikan.
Pemantauan jumlah diuresis, kadar ureum dankreatinin tetap harus dilakukan.
Tetapi, apabila diuresis tetap belum mencukupi, pada umumnya syok belum dapat
terkoreksi dengan baik, maka pemberian dopamia perlu dipertimbangkan.
D. Kriteria Memulangkan
Pasien
Pasien dapat dipulangkan, apabila:
- Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
- Nafsu makan membaik
- Tampak perbaikan secara klinis
- Hematokrit stabil
- Tiga hari setelah syok teratasi
- Jumlah trombosit > 50.000/μl
- Tidak dijumpai distress pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)
E.
Ruang
Khusus Gawat Darurat Penderita DBD
Untuk mencapai pelayanan yang lebih
baik, penderita DBD sebaiknya diletakkan di ruang kegawatan yang dilengkapi
sarana mencegah penularan penyakit DBD di rumah sakit. Paramedis
dan orang tua diharapkan dapat membantu pemberian cairan per oral dan mengamati
cairan yang diberikan melalui infus dan keadaan umum penderita.
F.
Alur Penatalaksanaan Tersangka DBD
Bagan 2 :
Bagan 3 :
Bagan 4 :
II.2.8
Prognosis
Manifestasi ini
termasuk fenomena sistem saraf pusat seperti kejang, spastisitas, perubahan
kesadaran, dan parese sementara. Bentuk kejang halus kadang terjadi pada fase
demam pada bayi. Intoksikasi air akibat pemberian cairan isotonik berlebihan
untuk mengatasi pasien DHF/ DSS dengan hiponatremi dapat menimbulkan
ensefalopati. Perawatan dengan sangat hati-hati harus dilakukan untuk mencegah
komplikasi iatrogenik termasuk sepsis, pneumonia, infeksi luka, dan hidrasi
berlebihan. Serotipe dengue 1, 2, dan 3 telah diisolasi dari pasien
yang meninggal karena gagal hati, dengan infeksi dengue primer maupun sekunder.
Hepatosit nekrosis sekunder ditemukan meluas pada beberapa kasus ini.
Manifestasi lainnya mencakup gagal ginjal dan sindrom uremik hemolitik, kadang
pada pasien dengan keadaan defisiensi glukosa-6-fosfat dehisrogenase (G6PD) dan
hemoglobinopati.
II.2.9
Komplikasi
Demam
Berdarah Dengue dapat berlanjut menjadi Sindrom Syok Dengue karena kebocoran
plasma yang terjadi tidak ditangani dengan tepat. Pasien dapat jatuh ke dalah
kondisi syok yang berat dan berpotensi menyebabkan kematian.
Virus dengue yang dapat menembus sawar darah otak juga
dapat menyebabkan Ensefalopati Dengue. Demam pada pasien jika tidak diatasi
berpotensi menimbulkan kejang demam terutama pada anak dengan riwayat kejang
demam sebelumnya. Kebocoran plasma yang terjadi juga dapat menimbulkan efusi
pleura dan menimbulkan sesak pada pasien.
II.2.10 Pencegahan
Sampai saat ini
pengobatan demam berdarah dilakukan melalui pemberian obat dan pemberian
vaksin. Namun, sampai saat ini belum ada vaksin yang benar-benar mampu untuk
mencegah seseorang terkena dema, berdarah.Cara yang paling mudah dan efektif
untuk menghindari penyakit ini adalah mencegahnya. Upaya pencegahan yang dapat
dilakukan diantaranya adalah :
a.
Menghindari
gigitan nyamuk di siang hari karena nyamuk demam berdarah adalah nyamuk yang
aktif di siang hari. Cara untuk menghindari gigitan nyamuk salah satunya adalah
dengan menggunakan lotion anti nyamuk, hal ini sangat efektif untuk anak-anak
dan balita mengingat banyak korban demam berdarah adalah anak-anak.
b.
Menjaga
kerbersihan lingkungan dengan 3M yaitu menguras bak mandi seminggu sekali
sekaligus menaburkan bubuk abate pada air, mengubur barang-barang bekas yang
mampu menampung air, menutup tempat-tempat penampungan air. Selain itu juga
jangan menggantung baju bekas pakai karena akan digunakan nyamuk untuk
bersarang.
c.
Memelihara
ikan-ikan pemakan jentik nyamuk di kolam-kolam.
Demam berdarah
dapat dicegah dengan memberantas jentik-jentik nyamuk Demam Berdarah (Aedes aegypti) dengan cara melakukan PSN
(Pembersihan Sarang Nyamuk). Upaya ini merupakan cara yang terbaik, ampuh,
murah, mudah dan dapat dilakukan oleh masyarakat, dengan cara sebagai berikut
:
1.
Bersihkan
(kuras) tempat penyimpanan air (seperti : bak mandi/WC, drum, dan lain-lain)
sekurang-kurangnya seminggu sekali. Gantilah air di vas bunga, tempat minum
burung, perangkap semut dan lain-lain sekurang-kurangnya seminggu sekali
2.
Tutuplah
rapat-rapat tempat penampungan air, seperti tempayan, drum, dan lain-lain agar
nyamuk tidak dapat masuk dan berkembang biak di tempat itu
Kubur atau buanglah
pada tempatnya barang-barang bekas, seperti kaleng bekas, ban bekas,
botol-botol pecah, dan lain-lain yang dapat menampung air hujan, agar tidak
menjadi tempat berkembang biak nyamuk. Potongan bambu, tempurung kelapa, dan lain-lain agar dibakar bersama sampah
lainnya.
3.
Tutuplah
lubang-lubang pagar pada pagar bambu dengan tanah atau adukan semen.
4.
Lipatlah
pakaian/kain yang bergantungan dalam kamar agar nyamuk tidak hinggap disitu.
5.
Untuk
tempat-tempat air yang tidak mungkin atau sulit dikuras, taburkan bubuk ABATE
ke dalam genangan air tersebut untuk membunuh jentik-jentik nyamuk.
6.
Ulangi
hal ini setiap 2-3 bulan sekali.
Cara Memberantas
Nyamuk Aedes aegypti :
1.
Penyemprotan
dengan menggunakan zat kimia
2.
Pengasapan
dengan insektisida
3.
Memutus
daur hidup nyamuk dengan menggunakan ovitrap dan memberi ikan cupang di tempat
penampungan air.
Untuk memberantas
jentik-jentik nyamuk dapat menggunakan serbuk ABATE, dengan komposisi takaran
sebagai berikut: Untuk 10 liter air cukup dengan 1 gram serbuk ABATE.
Bila memerlukan ABATE kurang dari 10 gram, maka dapat
dilakukan sebagai berikut :
1.
Ambil
1 sendok makan ABATE dan tuangkan pada selembar kertas
2.
Lalu
bagilah ABATE menjadi 2, 3, atau 4 bagian sesuai dengan takaran yang dibutuhkan
Setelah dibubuhkan ABATE maka
:
1.
Selama
3 bulan bubuk ABATE dalam air tersebut mampu membunuh jentik Aedes aegypti
2.
Selama
3 bulan bila tempat penampungan air tersebut akan dibersihkan/diganti airnya,
hendaknya jangan menyikat bagian dalam dinding tempat penampungan air tersebut
Air yang telah
dibubuhi ABATE dengan takaran yang benar, tidak membahayakan dan tetap aman
bila air tersebut diminum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar