Senin, 20 Agustus 2012

Anemia Defisiensi Besi

Definisi dan klasifikasi
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat kosongnya cadangan besi tubuh (depleted iron store) sehingga penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang, yang pada akhirnya pembentukan hemoglobin berkurang.
Dilihat dari beratnya kekurangan besi dalam tubuh, maka defisiensi dapat dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu :
a.      Iron depleted state, yaitu cadanagn besi menururn, tetapi penyediaan besi untuk eritropoesis belum terganggu.
b.      Iron deficient erythropoiesis, yaitu cadangan besi kosong penyediaan besi untuk eritropoesis terganggu, tetapi belum timbul anemia secara laboratorik.
c.      Iron deficiency anemia, yaitu cadangan besi kosong disertai anemia defisiensi besi.

Epidemiologi
Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang paling sering dijumpai baik di klinik maupun di masyarakat.
Belum ada data yang pasti mengenai prevalensi anemia defisiensi besi di Indonesia. Martoatmojo et al memperkirakan ADB pada laki-laki 16-50%  dan 25-84% pada perempuan tidak hamil. Pada pensiunan pegawai negeri di Bali didapatkan prevalensi anemia 36% dengan 61% disebabkan oleh karena defisiensi besi. Sedangkan pada penduduk suatu desa di Bali didapatkan angka prevalens ADB sebesar 27%.

Etiologi dan Faktor Predisposisi
Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh :
a.         Kebutuhan besi yang meningkat secara fisiologis, seperti pada prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan,dan kehamilan.
b.         Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun, yang dapat berasal dari :
·           Saluran cerna : tukak peptik, kanker lambung, kanker kolon, infeksi cacing tambang
·           Saluran genitalia wanita : menorrhagia
·           Saluran kemih : hematuria
·           Saluran napas : hemoptoe
c.         Kurangnya besi yang diserap
·           Masukan besi dari makanan yang tidak adekuat akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan, atau kualitas besi (boavalaibilitas) besi yang tidak baik.
·           Malabsorpsi besi : gastrektomi, tropical sprue atau kolitis kronik.
d.         Transfusi feto-maternal
          Kebocoran darah yang kronis ke dalam sirkulasi ibu akan menyebabkan anemia defisiensi besi pada masa fetus dan pada awal masa neonatus.
e.         Latihan yang berlebihan
          Pada atlit yang berolahraga berat seperti olah raga lintas alam memiliki kadar feritin serum < 10 µg/dl.
       
Patogenesis
Patogenesis anemia defisiensi besi dimulai ketika cadangan besi dalam tubuh habis yang ditandai dengan menurunnya kadar feritin yang diikuti juga oleh saturasi transferin dan besi serum. Penurunan saturasi transferin disebabkan tidak adanya besi di dalam tubuh sehingga apotransferin yang dibentuk hati menurun dan tidak terjadi pengikatan dengan besi sehingga transferin yang terbentuk juga sedikit. Sedangkan total iron binding protein (TIBC) atau kapasitas mengikat besi total yang dilakukan oleh transferin mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan karena tidak adanya besi di dalam tubuh sehingga transferin berusaha mengikat besi dari manapun dengan meningkatkan kapasitasnya.
Dalam tubuh manusia, sintesis eritrosit atau eritropoesis terus berlangsung dengan memerlukan besi yang akan berikatan dengan protoporfirin untuk membentuk heme. Pada anemia defisiensi besi, besi yang dibutuhkan tidak tersedia sehingga heme yang terbentuk hanya sedikit dan pada akhirnya jumlah hemoglobin yang dibentuk juga berkurang. Dengan berkurangnya Hb yang terbentuk, eritrosit pun mengalami hipokromia (pucat). Hal ini ditandai dengan menurunnya MCHC (mean corpuscular Hemoglobin Concentration) < 32%. Sedangkan protoporfirin terus dibentuk eritrosit sehingga pada anemia defisiensi besi, protoporfirin eritrosit bebas (FEP) meningkat. Hal ini dapat menjadi indikator dini sensitif adanya defisiensi besi.
Di sisi lain, enzim penentu kecepatan yaitu enzim ferokelatase memerlukan besi untuk menghentikan sintesis heme. Padahal besi pada anemia defisiensi besi tidak tersedia sehingga pembelahan sel tetap berlanjut selama beberapa siklus tambahan namun menghasilkan sel yang lebih kecil (mikrositik). Hal ini ditandai dengan menurunnya MCV (mean corpuscular volume) < 80 fl.

Manifestasi Klinis
Gejala klinis anemia defisiensi besi
Gejala anemia defisiensi besi dapat digolongkan menjadi 3 golongan besar, yaitu gejala umum anemia, gejala khas akibat defisiensi besi, gejala penyakit dasar.

Gejala umum anemia
Gejala umum anemia yang disebut juga sebagai sindrom anemia (anemic syndrome) dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin turun di bawah 7-8 g/dl. Gejala ini berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang serta telinga mendenging. Pada anemia defisiensi besi karena penurunan kadar hemoglobin yang terjadi secara perlahan-lahan sering kali sindrom anemia tidak terlalu mencolok dibandingkan dengan anemia lain yang penurunan kadar hemoglobinnya terjadi lebih cepat, oleh karena mekanisme kompensasi tubuh dapat berjalan dengan baik. Anemia bersifat simtomatik jika hemoglobin telah menurun di bawah 7 g/dl. Pada pemeriksaan fisik dijumpai pasien yang pucat , terutama pada konjunctiva dan jaringan di bawah kuku.
Gejala khas defisiensi besi
Gejala yang khas dijumpai pada anemia defisiensi besi tapi tiak pada anemia jenis lain adalah:
·                Koilonychia : kuku sendok (spoon nail), kuku menjdi rapuh, bergaris-garis vertikal dan menjadi cekung sehingga mirip seperti sendok.
·                Atropi papil lidah : permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidah menghilang.
·                Stomatitis angularis (cheilosis) : adanya keradangan pada sudut mulut sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan.
·                Disfagia : nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring.
·                Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia.
·                Pica : keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim, seperti tanah liat, es, lem dan lain-lain.
·                Sindrom Plummer Vinson atau disebut juga sindrom Paterson Kelly adalah kumpulan gejala terdiri dari anemi hipokromik mikrositer, atrofi papil lidah dan disfagia.


Gejala penyakit dasar
Pada anemia defisiensi besi dapat dijumpai gejala-gejala penyakit yang menjadi penyebab anemia difisiensi tersebut. Misalnya pada anemia akibat penyakit tambang dapat dijumpai dispepsia, parotis membengkak, dan kulit telapak tangan berwarna kuning seperti jerami. Pada anemia karena perdarahan kronik akibat kanker kolon dijumpai gejala gangguan kebiasaan buang air besar atau gejala lain tergantung dari lokasi kanker tersebut.

Pemeriksaan
Anamnesis
Dari anamnesis dapat ditanyakan keluhan utama yang menyebabkan pasien datang ke sarana pelayanan kesehatan. Pada skenario didapatkan pasien mengeluhkan gejala umum anemia yang sudah dijabarkan sebelumnya. Selanjutnya tanyakan kapan pasien mulai mengalami keluhan tersebut serta gangguan lain yang mungkin menyertai keluhan tersebut. Pada pasien anemia defisiensi besi, kekurangan besi yang dialami pasien dapat disebabkan karena gangguan absorpsi, kurangnya intake besi sehari-hari atau akibat perdarahan kronik. Jadi dapat ditanyakan juga apakah ada penyakit lain seperti kolitis kronik atau riwayat gastrektomi yang menyertai, bagaimana asupan makanan sehari-hari terkait dengat intake besi, dan apakah ada riwayat perdarahan misalnya BAB berdarah, BAK berdarah dan lain-lain. Selain itu dapat juga ditanyakan pekerjaan pasien yang mungkin berkaitan dengan infeksi cacing tambang yang menjadi salah satu penyebab anemia defisiensi besi.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan keadaan umum, vital sign, status gizi apakah gizi baik atau buruk, konjungtiva apakah anemis atau tidak, sclera ikterik atau tidak , bibir, lidah, gigi dan mulut, bentuk kepala, kelainan herediter, jantung dan paru, hepar, limpa, ekstremitas.
Pemeriksaan Laboratorium
Kelaianan laboratorium pada kasus anemia defisiensi besi yang dapat dijumpai adalah:
1.         Kadar Hemoglobin dan Indeks. Didapatkan anemia hipokromik mikrositer dengan penurunan kadar hemoglobin mulai dari ringan sampai berat. MCV dan MCH menurun dan MCHC menurun pada defisiensi yang lebih berat dan berlangsung lama. Anisositosis merupakan tanda awal defisiensi besi ditandai oleh peningkatan RDW (red cell distribution widht).
                     Mengenai titik pemilah MCV, ada yang memakai angka < 80 fl, tetapi pada penelitian kasus ADB di Denpasar, dijumpai bahwa titik pemilah < 78 fl memberi spesifisitas paling baik. Indeks eritrosit sudah dapat mengalami penurunan sebelum kadar Hb menurun.
                     Hapusan darah tepi menunjukan anemia hipokromik mikrositer, anisositosis, dan poikolositosis. Makin berat derajat anemia makin berat derajat hipokromia. Jika terjadi hipokromia dan mikrositosis ekstrim, maka sel tampak sebagai sebuah cincin sehingga disebut sel cincin, atau memanjang seperti pensil. Kadang-kadang dijumpai sel target.
                     Leukosit dan trombosit pada umumnya normal. Tapi granulositopenia ringan dapat dijumpai pada ADB yang berlangsung lama. Pada ADB karena cacing tambang dijumpai eosinofilia. Trombositosis dapat dijumpai pada ADB dengan episode perdarahan akut.
2.         Konsentrasi besi serum menurun pada ADB dan TIBC (total iron binding capacity) meningkat. TIBC menunjukkan tingkat kejenuhan apotransferin terhadap besi, sedangkan saturasi transferin dihitung dari besi serum dibagi TIBC dikalikan 100%. Untuk kriteria diagnosis ADB, kadar besi serum menurun < 50 µg/dl, TIBC meningkat > 350 µg/dl, dan saturasi transferin < 15%. Harus diingat bahwa besi serum menunjukkan variasi diurnal yang sangat besar, dengan kadar puncak pada jam 8 sampai 10 pagi.
3.         Feritin Serum merupakan indikator cadangan besi yang sangat baik, kecuali pada keadaan inflamasi atau keganasan tertentu. Titik pemilah untuk feritin serum pada ADB dipakai angkan < 12 µg/dl, tetapi ada juga yang menggunakan < 15 µg/dl. Untuk daerah tropik di mana angka infeksi dan inflamasi yang masih tinggi titik pemilah harus sedikit dikoreksi. Pada penelitian di Bali sensitivitas tertinggi (84%) justru dicapai pada pemakaian feritin serum < 40 µg/dl, tanpa mengurangi spesifisitas terlalu banyak (92%). Hecberg untuk daerah tropik menganjurkan memakai angka feritin seru < 20 µg/dl sebagai kriteria diagnosis ADB. Jika terjadi infeksi atau inflamasi yang jelas, maka feritin serum sampai dengan 50-60 µg/dl masih dapat menunjukkan adanya defisiensi besi.
4.         Reseptor tranferin serum (sTfR). Reseptor transferi dilepaskan dari sel ke dalam plasma. Kadar sTfR meningkat pada anemia defisiensi besi. Yang digunakan adalah rasio reseptor transferin dengan log feritin serum. Rasio > 1,5 menunjukkan ADB. Digunakan untuk membedakan ADB dengan anemia akibat penyakit kronik.
5.         Sumsum Tulang. Pemeriksaan ini tidak perlu dilakukan kecuali pada kasus dengan komplikasi. Pengecatan sumsum tulang dengan Perl’s stain menunjukkan cadangan besi negatif ditandai dengan tidak ada besi dari eritroblas cadangan (makrofag) dan yang sedang bekembang.
6.         Dilakukan pemeriksaan untuk mencari penyebab ADB. Antara lain pemeriksaan feses untuk mencari cacing tambang atau darah, endoskopi, dan lain-lain, tergantung dari dugaan penyebab defisiensi tersebut.

Complications
  • Anemia berat dapat menyebabkan hipoksemia dan mempertinggi resiko insufiseinsi koroner dan iskemik miokard, selain itu dapat memperparah keadaan pasien dengan penyakit paru kronis.
  • Intoleransi terhadap dingin ditemukan pada beberapa pasien dengan anemia defisiensi kronis, dan bermanifestasi sebagai gangguan vasomotor, nyeri neurologis, atau mati rasa bahkan rasa geli.
  • Meskipun jarang, namun pada anemia defisiensi yang berat berhubungan dengan papilledema, peningkatan tekanan intracranial, dan bias disapatkan gambaran klinis pseudotumor cerebri. Manifestasi ini dapat terkoreksi oleh terapi dengan pemberian preparat  besi.
  • Fungsi imun yang melemah, dan pernah dilaporkan pasien dengan anemia defisiensi besi mudah terjangkit infeksi, meskipun demikian belum didapatkan fakta yang pasti mengenai keterkaitan antara defisiensi besi dengan melemahnya imun karena ada beberapa factor lain yang turut berperan.
  • Anak dengan deficit besi akan mengalami gangguan dalam perilakunya. Pada infants terjadi gangguan perkembangan neurologis dan pada anak usia sekolah terjadi penurunan prestasi belajar. IQ dari anak usia sekolah dengan anemia defisiensi besi dilaporkan lebih rendah jika dibandingkan dengan anak sebaya yang nonanemic. Gangguan dalam perilaku dapat bermanisfestasi sebagai kelainan dalam pemusatan perhatian, sedngakan pada infants akan terjadi  pertumbuhan yang tidak optimal. Semua manifestasi ini dikoreksi dengan terapi besi.

Prognosis
Anemia defisiensi besi jika terkoreksi dengan baik maka akan memberikan prognosis yang baik, namun anemia defisiensi besi dapat memiliki prognosis yang buruk, jika kondisi yang mendasarinya memiliki prognosis yang buruk juga seperti neoplasia. Sama halnya dengan prognosis yang dapat berubah oleh comorbid condition seperti coronary artery disease.

Terapi
Terapi untuk anemia defisiensi besi :
a.     Terapi kausal : yaitu terapi tehadap penyebab terjadinya anemia defisiensi besi, misalnya pengobatan terhadap perdarahan, maka dilakukan pengobatan pada penyakit yang menyebabkan terjadinya perdarahan kronis seperti penyakit cacing tambang, hemoroid, menorhagia, karena jika tidak maka anemia akan akan kambuh kembali.
b.    Pemberian perparat besi untukmengganti kekurangan besi dalam tubuh (iron replacement therapy)
*      Terapi besi oral
Terapi besi oral merupakan terapi pilihan pertama karena efektif, murah, dan aman. Preparat yang tersedia adalah ferrous sulphat, dengan dosis anjuran 3 X 200 mg, setiap 200 mg nya mengandung 66 mg besi elemental. Dengan dosis anjuran tersebut dapat mengabsorbsi besi 50 mg per hari yang dapat meningkatkan eritropoesis 2-3 kali normal. Preparat lainnya ialah, ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate, dan ferrous succinate.
Efek samping utama : gangguan GIT pada 15-20% sehingga mengurangi kepatuhan pasien dalam meminum obat. Keluhan dapat brupa mual, muntah, serta konstipasi. Pengobatan diberikan 3-6 bulan, ada yang menganjurkan sampai 12 bulan, sampai kadar HB normal untuk mengisis cadangan besi tubuh.
*      Terapi besi parenteral
Sangat efektif, namun mempunyai resiko lebih besar dan harganya lebih mahal. Indikasi pemberian :
*      Intoleransi terhadap pemberian besi oral
*      Kepatuhan terhadap obat yang rendah
*      Gangguan pencernaan seperti kolilitis ulseratif yang dapat kambuh jika diberikan besi
*      Penyerapan besi terganggu, seperti pada gastrektomi
*      Kehilangan darah yang banyak sehingga tidak cukup dikompensasi dengan pemberian besi oral, seperti misalnya pada hereditary hemorrhagic teleangiectasia
*      Kebutuhan besi yang besar dalam waktu yang pendek, seperti pada kehamilan trimester 3 atau sebelum operasi
*      Defisiensi fungsional relative akibat pemberian eritropoetin pada anemia gagal ginjal kronik atau anemia akibat penyakit kronik.
Preparat yang tersedia ialah iron dextran complex (mengandung 50 mg besi/ml), iron sorbitol citric acid complex, dan ferric gluconate dan iron sucrose yang lebih aman. Besi parenteral dapat diberikan secara IM atau IV pelan.
Rounded Rectangle: Kebutuhan besi (mg) = (15-Hb sekarang) X BB X 2,4 + 500 atau 1000mgTujuan terapibesi parenteral ialahmengembalikan kadar Hb dan mengisis besi sebesar 500mg-1000mg.

Efek samping : reaksi anafilaktik meskipun jaran (0,6 %), flebitis, sakit kepala, fushing, mual, muntah, nyeri perut, dan sinkop, pada pemberian IM memberikan rasa nyeri dan warna hitam pada kulit.
c.     Pengobatan lain
*      Diet : diberikan makanan bergizi dengan tinggi protein terutama dari protein hewani.
*      Vitamin C : diberikan 3 X 100 mg per hari untuk meningkatkan absorbsi besi.
*      Transfusi darah : anemia defisiensi besi jarang memerlukan transfuse darah. Darah yang diberikan ialah PRC untuk mengurangi bahaya overload. Indikasi transfuse darah :
*      Adanya penyakit jantung anemic dengan ancama payah jantung
*      Anemia yang sangat simtomatik, misalnya anemia ddengan gejala pusing yang sangat menyolok
*      Pasien memerlukan peningkatan Hb yang cepat seperti pada kehamilan trimester akhir atau preoperasi.

 
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, S., 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia
Conrad, E Marcel, 2006, “Iron Deficiency Anemia: Follow-up”, Available at http://emedicine.medscape.com
Harrison., 2007. Principle of Interna Medicine. Mc-Graw Hill
Hoffbrand, A.V., Petit, J. E., Moss, P. A. H., 2005. Kapita Selekta Hematology. EGC: Jakarta
Sudoyo, A., 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi 4 Jilid II. Pustaka IPD FKUI
Sudoyo, A., 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi 5. Pustaka IPD FKUI: Jakarta
Weiss, Guenter  & Goodnough, Lawrence T . Anemia of Chronic Disease, The new england           journalofmedicine. n engl j med 352;10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar