Definisi
Artritis reumatoid (AR) adalah penyakit
autoimun yang ditandai oleh inflamasi sistemik kronik dan progresif, dimana
sendi merupakan target utama.
Epidemiologi
Pada kebanyakan populasi di dunia, prevalensi
AR relatif konstan yaitu berkisar antara 0,5 -1%. Prevalensi yang tinggi
didapatkan di Pima Indian dan Chippewa Indian masing-masing sebesar 5,3% dan
6,8%. Prevalensi AR di India dan di negara barat kurang lebih sama yaitu
sekitar 0,75%. Sedangkan di China, Indonesia, dan Philipina prevalensinya
kurang dari 0,4%, baik didaerah urban maupun rural. Hasil survey yang dilakukan
di Jawa Tengah mendapatkan prevalensi AR sebesar 0.2% di daerah rural dan 0.3%
di daerah urban. Sedangkan penelitian yang dilakukan di Malang pada pendduduk
berusia diatas 40 tahun mendapatkan prevalensi AR sebesar 0,5% di daerah
Kotamadya dan 0,6% di daerah kabupaten. Di Poliklinik Reumatologi RSUPN Cipto
Mangunkusomo Jakarta, kasus baru AR merupakan 4,1% dari seluruh kasus baru
tahun 2000 dan pada periode Januari s/d Juni 2007 didapatkan sebanyak 203 kasus
AR dari jumlah seluruh kunjungan sebanyak 1.346 orang (15,1%). Prevalensi AR
lebih banyak ditemukan pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki dengan
rasio 3 : 1 dan dapat terjadi pada semua kelompok umur, dengan angka kejadian
tertinggi didapatkan pada dekade keempat dan kelima.
Etiologi
Faktor
genetik
Etiologi dari AR tidak diketahui secara pasti.
Terdapat interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan lingkungan. Faktor
genetik berperan penting terhadap kejadian AR, dengan angka kepekaan dan
ekspresi penyakit sebesar 60 %. Hubungan gen HLA-DRB 1 dengan kejadian AR telah
diketahui dengan baik, walaupun beberapa lokus non-HLA juga berhubungan dengan
AR seperti daerah 18q21 dari gen TNFRSR11A yang mengkode aktivator receptor
nuclear factor kappa B (NF-κB). Gen ini berperan penting dalam resorpsi tulang
pada AR. Faktor genetik juga berperanan penting dalam terapi AR karena aktivitas
enzim seperti methylenetetrahydrofolate
reductase dan thiopurine methyltransferase untuk metabolisme methotrexate dan
azathioprine ditentukan oleh faktor genetik. Pada kembar monosigot mempunyai
angka kesesuaian untuk berkembangnya AR lebih dari 30% dan pada orang kulit
putih dengan AR yang mengekspresikan HLA-DR1 atau HLA-DR4 mempunyai angka
kesesuaian sebesar 80%.
Hormon
sex
Prevalensi AR lebih besar pada perempuan
dibandingkan dengan laki-laki, sehingga diduga hormon sex berperanan dalam
perkembangan penyakit ini. Pada observasi didapatkan bahwa terjadi perbaikan
gejala AR selama kehamilan. Perbaikan ini diduga karena : 1. Adanya aloantibodi
dalam sirkulasi maternal yang menyerang HLA-DR sehingga terjadi hambatan fungsi
epitop HLA-DR yang mengakibatkan perbaikan penyakit. 2. Adanya perubahan profil
hormon. Placental corticotropinreleasing
hormone secara langsung menstimulasi sekresi dehidroepiandrosteron (DHEA),
yang merupakan androgen utama pada perempuan yang dikeluarkan oleh sel-sel
adrenal fetus. Androgen bersifat imunosupresi terhadap respon imun selular dan
humoral. DHEA merupakan substrat penting dalam sintesis estrogen plasenta.
Estrogen dan progesteron menstimulasi respon imun humoral (Th2) dan menghambat
respon imun selular (Th1). Oleh karena pada AR respon Th 1 lebih dominan
sehingga estrogen dan progesteron mempunyai efek yang berlawanan terhadap
perkembangan AR. Pemberian kontrasepsi oral dilaporkan mencegah perkembangan AR
atau berhubungan dengan penurunan insiden AR yang lebih berat.
Faktor
infeksi
Beberapa virus dan bakteri diduga sebagai agen
penyebab penyakit. Organisme ini diduga menginfeksi sel induk semang (host) dan
merubah reaktivitas atau respon sel T sehingga mencetuskan timbulnya penyakit.
Walaupun belum ditemukan agen infeksi yang secara nyata terbukti sebagai
penyebab penyakit.
Agen Infeksi yang Diduga sebagai Penyebab
Artritis Reumatoid
·
Agen
infeksi à Mekanisme patogenik
·
Mycoplasma
à Infeksi sinovial langsung, superantigen
·
Parvovirus
B19 à Infeksi sinovial langsung
·
Retrovirus
à Infeksi sinovial langsung
·
Enteric
bacteria à Kemiripan molekul
·
Mycobacteria
à Kemiripan molekul
·
Epstein-Barr
Virus à Kemiripan molekul
·
Bacterial
cell walls à Aktifasi makrofag
Protein
heat shock (HSP)
HSP adalah keluarga protein yang diproduksi oleh
sel pada semua spesies sebagai respon terhadap stres. Protein ini mengandung
untaian (sequence) asam amino homolog. HSP tertentu manusia dan HSP
mikobakterium tuberkulosis mempunyai 65% untaian yang homolog. Hipotesisnya
adalah antibodi dan sel T mengenali epitop HSP pada agen infeksi dan sel host.
Hal ini memfasilitasi reaksi silang limfosit dengan sel host sehingga
mencetuskan reaksi imunologis. Mekanisme ini dikenal sebagai kemiripan molekul
(molecular mimicry).
Patogenesis Artritis Reumatoid
Penyakit
ini diawali pada seseorang yang mempunyai kecendrungan genetic-oleh aktivasi
sel T-helper yang memberikan respons terhadap bebrapa agen artritogenik,
mungkin mikroba. Kemudian, sel CD4+ yang diaktivasi menghasilkan sitokin yang
akan:
1.
mengaktifkan makrofag dan sel lain
dalam rongga sendi, melepaskan enzim degradatif dsn factor lain yang
menimbulkan peradangan , dan
2.
mengaktifkan sel B, yang
menghasilkan antibody, bebrapa diantaranya diarahkan untuk melawan komponennya
sendiri.
Sinovium
rematoid sangat banyak mengandung sitokin, baik yang bersal dari limfosit
maupun yang berasal dari makrofag. Aktvitas sitokin ini berperan pada berbagai
gambaran yang muncul pada sinovitis rematoid; tidak hanya sitokin ini yang
bersifat proinflamasi, tetapi IL-1 dan TGF-alfa, misalnya menyebabkan
proliferasi sel sinovial dan fibroblast. Sitokin ini juga merangsang sel
sinovial dan kondrosit untuk menyekresi enzim preteolitik dan enzim
pendegradasi matriks. Belum lama ini, telah terbukti bahwa sel T yang aktif
dalam lesi RA akan mengeluarkan ligan RANK dalam jumlah yang berarti. Ligan
RANK akan menginduksi diferensiasi dan aktivasi osteoklas dan dapat berperan
sangat penting dalam resorpsi tulang seperti yang terjadi pada lesi destruktif
dari RA.
Factor
genetic dalam patogenesis RA ditunjukkan melalui peningkatan frekuensi penyakit
ini di antara kerabat tingkat pertama dan terdapat angka kesesuaian yang tinggi
pada kembar monozigot; terdapat pula keterkaitan yang tinggi antara HLA-DR4
dan/atau HLA-DR1 dengan RA. Yang menarik adalah alel DR yang berhubungan dengan
kerentanan tersebut menyumbangkan suatu jajaran empat asam amino, yang
diletakkan pada celah pengikat antigen pada molekul DR. jadi, molekul DR
tertentu dapat memudahkan terjadinya RA melalui kemampuannya mengikat antigen
artritogenik terpilih, yang kemudian akan mengaktivasi sel T helper dan
mengawali proses penyakit.
Sel
T berperan penting dalam patogenesis RA, termasuk mengarahkan aktivasi sekunder
endotel (untuk memudahkan rekrutmen sel inflamasi), makrofag dan osteoklas. Sel
B (yang diaktivasi oleh sel T) penting juga. Pada kira-kira 80% pasien, factor
rematoid (RF)-autoantibodi IgM (dan untuk lingkup yang lebih kecil, IgG) yang
diarahkan untuk melawan bagian Fc dari IgG terdapat dalam serum dan cairan
sinovial. Masih belum jelas mengapa dibentuk antibody yang melawan IgG autolog.
RF dalam sirkulasi diduga terlibat dalam berbagai
manifestasi ekstraartikular dari RA, dan factor rematoid sendi turut berperan
berperan pula pada reaksi peradangan pada tempat tersebut. RF (faktor rematoid)
dan IgG membentuk kompleks imun yang mengikat komplemen, menarik neutrofil, dan
menimbulkan cedera jaringan karena reaksi hipersensitiftas tipe III. Perlu
diperhatikan bahwa RF tidak selalu ada (tidak ditemukan pada 20% pasien RA), kadang-kadang
ditemukan pada status penyakit lainnya (bahkan pada orang sehat), dan mungkin
tidak penting sebagai penyebab RA.
Akhirnya terdapat agen infeksius yang sulit dipahami yang
antigennya mengaktivasi sel T. Banyak agen yang telah dipikirkan, tetapi tidak
satupun yang terbukti. Agen yang diperkirakan adalah EBV, spesies Barrelia,
spesies mycoplasma, parvovirus, dan mikobakterium. Meskipun kerusakan sendi
pada RA berasal dari imun dan tampaknya terjadi pada individu yang mempunyai
kecendrungan secara genetik, pemicu tepat yang memulai reaksi ini masih belum
diketahui.
Manifestasi klinis Artritis
Reumatoid
Dalam
keadaan dini, AR dapat bermanifestasi sebagai :
·
Palindromic
rheumatism à timbulnya gejala moartritis yang hilang
timbul yang berlangsung antara 3-5 hari dan diselingi remisi sempurna sebelum
bermanifestasi sebagai AR yang khas.
·
Pauciarticular
rheumatism à gejala poliartritis yan melibatkan
4 persendian atau kurang.
1.
Manifestasi
Artikular
Dapat dibagi 2 kategori :
· Gejala
inflamasi akibat sinovitis yang reversibel
· Gejala
akibat kerusakan struktur persendian yang bersifat ireversibel
Gejala
yang berhubungan dengan sinovitis ialah kaku pada pagi hari yang umumnya lebih
dari 1 jam. Lamanya kaku dapat berhubungan dengan lamanya imobilisasi pada saat
pasien tidur atau beratnya inflamasi. Inflamasi menyebabkan imobilisasi
persendian yang jika berlangsung lama akan mengurangi pergerakan persendian
baik secara aktif maupun pasif. Sinovitis akan menyebabkan kerusakan rawan
sendi dan erosi tulang periartikular sehingga menyebabkan terbentuknya
permukaan sendi yang tidak rata.
Ø Pada
vertebra servikalis à kekauan pada seluruh segmen leher
disertai berkurangynya lingkup gerak sendi secara menyeluruh.
Ø Pada
gelang bahu à
tanpa pelatihan pencegahan dapat terjadi kekakuan bahu berat (frozen shoulder syndrome).
Ø Pada
siku à
parestesia jari 4 dan 5 akan kelemahan otot fleksor jari 5.
Ø Pada
tangan à
gambaran swan neck deformities (deformitas
patognomink yang banyak dijumpai pada AR), gejala carpal tunnel syndome, dan
tenosinovitis akibat pembentukan nodul reumatoid yang menghambat gerakan tendon
dalam sarungnya.
Ø Pada
panggul àpada
keadaan dini menyebabkan keterbatasan gerak yang tidak jelas dan ringan pada
kegiatan tertentu, namun jika destruksi terjadi lebih lanjut gejala gangguan
sendi panggul berkembang lebih cepat dibandingkan persendian lainnya.
Ø Pada
lutut à
penebalan sinovial, efusi lutut, dan herniasi kapsul sendi kearah posterior
dapat menyebabkan terbentuknya kista Baker.
Ø Pada
kaki dan dan pergelangan kaki à disfungsi dan rasa nyeri yang hebat
(akibat beban tubuh yang disangga), dapat ditemukan deformitas berupa pronasio
dan eversio kaki, walaupun jarang dapat terjadi parestesia pada telapak kaki.
2.
Manifestasi
Ekstrartikular
Ø Kulit
Nodul reumatoid umumnya
timbul pada fase aktif dan terbentuk di bawah kulit teurtama pada lokasi yang
banyak menerima tekanan (olekranon, permukaan ekstensor lengan dan tendon
achilles), serta vaskulitis yang bermanifestasi sebagai lesi purpura atau
ekimosis pada kulit dan nekrosis kuku bahkan gangren atau ulkus.
Ø Mata
Kelainan yang sering
dijumpai ialah keratokonjungtivis
sicca, selain itu pada AR dapat dijumpai episode episkleritis yang ringan dan
sembuh spontan, serta gejala skleritis yang menyerupai nodul reumatoid dan
menimbulkan gejala skleromalasia perforans yang dapat menyebabkan kebutaan.
Ø Sistem respiratorik
Nyeri tenggorakan,
nyeri menelan atau disfonia yang umumnya terasa lebih berat pada pagi hari, pada
paru dapat terjadi pneumonitis intrestisial, efusi pleura, dan fibrosis paru
yang luas.
Ø Sistem Kardiovaskular
Pada
bebepa pasien dapat dijumpai perikarditis konstriktif yang berat. Lesi
inflamatif yang menyerupai nodul reumatoid dapat di jumpai pada miokardium dan
katup jantung, lesi ini dapat menyebabkan disfungsi katup fenomena embolisasi,
gangguan konduksi, aortritis dan kardiomiopati.
Ø Sistem Gantrointestinal
Tidak ada yang spesifik
selain daripada xerostomia yang berhubungan dengan sindrom sjogren atau
komplikasi GIT akibat vaskulitis.
Ø Ginjal
Berbeda dengan SLE, pad
AR jarang dijumpai kelainan glomerular, jika dijumpai proteinuria hal tersebut
lebih sering akibat efek samping pengobatan seerti garam emas dan d-penisilamin
atau terjadi sekunder akibat amiloidosis.
Ø Sistem saraf
Komplikasi neurologis
yang sering dijumpai pada AR umumnya tidak memberikan gambaran yang jelas
sehingga sukar untuk membedakan komplikasi neurologis akibat lesi artikular dan
lesi neuropatik.
Ø Sistem hematologik
Gambaran umum berupa
anemia penyakit kronik yang ditandai gambaran eritrosit normokromik normositik
(atau hipokromik ringan) yang disertai kadar besi serum rendah serta kapasitas
pengikatan normal atau rendah.
Pada pasien AR yang
berat dengan HLA-DR4 psitif sering dijumpai sindrom felty yang
merupakan gabungan dari gejala AR, splenomegali, leukopenia dan ulkus pada
tungkai. Sindromfelty umumnya juga sering disertai limfadenopati dan
trombositopenia. Selain sindrom felty, trombositopenia dapat timbul akibat
penekanan sumsum tulang pada penggunaan obat imunosupresif atau berhubungan
dengan proses autoimun pada penggunaan garam emas, d-penisilamin atau
sulfalazin.
Diagnosis
AR
1. Pemeriksaan
radiografis
2. Pemeriksaan
cairan synovial kekuningan atau kuning muda, berkabut, keruh disertai penurunan
viskositas. Bekuan musin buruk dan hitung leukosit rata-rata 15.000 sampai
20.000 /mm3 serta ditemukan factor rheumatoid.
Terapi
Artritis Reumatoid
AR
harus diterapi sedini mungkin untuk
mencegah terjadinya kecacatan. Semua pasien AR dengan inflamasi yang persisten
(>8 minggu), yang sudah diberi terapi dengan analgesika dan OAINS sebaiknya
juga dirujuk konsultan reumatologi.
Prinsip
Terapi
Ø Tim Multidisiplin
Dilakukan melalui tim
yang melibatkan dokter umum, konsultan reumatologi, fisioterapis, occupational
terapist, ahli diet , dan pekerja sosial.
Ø Edukasi
Pendekatan edukatif
untuk pasien dan keluarga tentang penyakit dan pengobatannya untuk meningkatkan
kepatuhan terhadap pengobatan.
Ø Perawatan di RS
Tidak diperlukan
kecuali pada keadaan yang berat. Evidence
based medicine menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna antara rawat inap
pada AR dibandingkan rawat jalan.
Ø
Terapi
Farmakologis
1.
Analgesika
Paracetamol 3 X 500-1000mg, analgesika yang
lain (B).
2.
OAINS (obat antiinflamasi non steroid)
OAINS digunakan untuk terapi simtomatis,
mengurangi nyeri. Meta analisis dan RCT menunjukkan bahwa OAINS cukup baik
dalam mengurangi keluhan dan meningkatkan fungsi mobilitas pada penderita AR.
Karena efek samping yang ditimbulkan, yaitu iritasi GIT maka untuk mengurangi
efek samping dianjurkan penggunaan bersamaan dengan penyekat H2, atau penyekat
pompa proton (A).
3.
DMARDs (Disease Modifying Anti-Rheumatic Drugs)
DMARDs digunakan untuk terapi “kausal”
karena bisa menghambat progresi penyakit, tetapi efek terlihat setelah 4-6
minggu. Karena efek samping cukup tinggi perlu pemantauan ketat. DMARD harus
diberikan sedini mungkin dan tetap diberikan selama fase aktif dari AR.
Beberapa DMARDs yang sering digunakan
sebagai teraai “kausal” pada AR
DMARDs/dosis
|
ES (sering)
|
ES (jarang)
|
Pemantauan
|
Keuntungan
|
Klorokuin
/ hidroksiklorokuin 200-400 mg/hr
|
Mual,
pusing
|
Deposisi
di retina, leukopenia, trombositopenia, hiperpigmentasi
|
Cek
retina tiap 6 bulan
|
Tidak
perlu pemantauan ketat, murah. Bisa digunakan jika dx belum pasti. Angka
remisi ± 50%
|
Sulfalazin
500-2000 mg/hr
|
Mual,
pusing, diare, ruam, stomatitis, oligospermia (reversibel), gangguan hati
|
leukopenia
|
DL,
tes faal hati
|
Onset
lebih cepat (8-12 minggu). Bisa digunakan jika dx belum pasti. Angka remisi ±
60 %
|
Metotreksa
5-30 mg/minggu
|
Mual,
pusing, diare, ruam, stomatitis, gangguan hati, alopesia
|
Leukopenia
/ Trombositopenia, pneumonitis, sepsis, hepatitis, nodulosis, lymphoma
|
DL,
tes fal, hati-ginjal, hindari alkohol, Tambahkan asam folat 1 mg/hr
|
Onset
lebih cepat (6-10 minggu). Bisa digunakan pada diagnosis yangbelum pasti.
Angka remisi ± 65 %
|
Azatioprin
1-2 m/kgBB
|
Mual,
pusing
|
Leukopenia,
sespis, limfoma
|
DL,
tes faal hati
|
Dapat
digunakan pada gangguan fungsi ginjal
|
Siklosporin
5 mg/kgBB.hr
|
Paraestesia,
tremor, pusing
|
Hipertensi,
nefritis, mual, hypertrychosis, hipertrofi gingiva
|
DL,
tes faal hati, ginjal
|
Angka
remisi ± 50%
|
Leflunomide
100 mg/hr (3hr) 10-20 mg/hr
|
Alopesia,
diare, mual, ruam
|
Leukopenia,
hepatitis, trombositopenia
|
DL,
tes faal hati-ginjal, tensi
|
Angka
remisi ± 50%
|
4.
Kortikosteroid
Injeksi kortikosteroid
intraartikuler hanya dilakukan pada sendi vital yang mengalami inflamasi,
menunjukkan efikasi yang baik dalam mengurangi inflamasi dan dapat
meminimalisasi efek samping sistemik dari kortikostroid. Diberikan maksimal 3 X
dalam 1 tahun pada satu sendi.
Kortikostreoid
sistemik dapat diberikan sebagai “terapi jembatan” untuk mengurangi keluhan
pasien, sambil menunggu efek DMARD yang baru muncul setelah 8-6 minggu. Biasanya
diberikan steroid dengan dosis rendah setara prednison 5-7,5 mg/hari. Setelah
efek DMARD muncul, berupa keluhan penderita yang banyak berkurang,
kortikosteroid dapat dihentikan.
Untuk pemberian yang lama sebaiknya
diberikan pencegahan ostoporosis dengan vitamin D3 dan kalsium atau bersama
obat antiresoptif seperti alendronat dan risdronate
Komplikasi dan prognosis
Terdapat
3 tipe RA :
a. Tipe
remitif/monosiklik (10-20%). Dapat terjadi remisi spontan.
b. Tipe
kronis eksaserbatif/polisiklik (70%)
c. Tipe
progresif (10-20%), dalam waktu relative singkat persendian rusak.
Indicator
prognosis buruk ;
a. lebih
banyak sendi yang terserang
b. LED
dan CRP tinggi
c. RF
+
d. Erosi
sendi pada awal penyakit
e. Social
ekonomi rendah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar