Rabu, 22 Agustus 2012

Arthritis Reumatoid


Definisi
Artritis reumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh inflamasi sistemik kronik dan progresif, dimana sendi merupakan target utama.

Epidemiologi
Pada kebanyakan populasi di dunia, prevalensi AR relatif konstan yaitu berkisar antara 0,5 -1%. Prevalensi yang tinggi didapatkan di Pima Indian dan Chippewa Indian masing-masing sebesar 5,3% dan 6,8%. Prevalensi AR di India dan di negara barat kurang lebih sama yaitu sekitar 0,75%. Sedangkan di China, Indonesia, dan Philipina prevalensinya kurang dari 0,4%, baik didaerah urban maupun rural. Hasil survey yang dilakukan di Jawa Tengah mendapatkan prevalensi AR sebesar 0.2% di daerah rural dan 0.3% di daerah urban. Sedangkan penelitian yang dilakukan di Malang pada pendduduk berusia diatas 40 tahun mendapatkan prevalensi AR sebesar 0,5% di daerah Kotamadya dan 0,6% di daerah kabupaten. Di Poliklinik Reumatologi RSUPN Cipto Mangunkusomo Jakarta, kasus baru AR merupakan 4,1% dari seluruh kasus baru tahun 2000 dan pada periode Januari s/d Juni 2007 didapatkan sebanyak 203 kasus AR dari jumlah seluruh kunjungan sebanyak 1.346 orang (15,1%). Prevalensi AR lebih banyak ditemukan pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki dengan rasio 3 : 1 dan dapat terjadi pada semua kelompok umur, dengan angka kejadian tertinggi didapatkan pada dekade keempat dan kelima.

Etiologi
Faktor genetik
Etiologi dari AR tidak diketahui secara pasti. Terdapat interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik berperan penting terhadap kejadian AR, dengan angka kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60 %. Hubungan gen HLA-DRB 1 dengan kejadian AR telah diketahui dengan baik, walaupun beberapa lokus non-HLA juga berhubungan dengan AR seperti daerah 18q21 dari gen TNFRSR11A yang mengkode aktivator receptor nuclear factor kappa B (NF-κB). Gen ini berperan penting dalam resorpsi tulang pada AR. Faktor genetik juga berperanan penting dalam terapi AR karena aktivitas enzim seperti methylenetetrahydrofolate reductase dan thiopurine methyltransferase untuk metabolisme methotrexate dan azathioprine ditentukan oleh faktor genetik. Pada kembar monosigot mempunyai angka kesesuaian untuk berkembangnya AR lebih dari 30% dan pada orang kulit putih dengan AR yang mengekspresikan HLA-DR1 atau HLA-DR4 mempunyai angka kesesuaian sebesar 80%.
Hormon sex
Prevalensi AR lebih besar pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki, sehingga diduga hormon sex berperanan dalam perkembangan penyakit ini. Pada observasi didapatkan bahwa terjadi perbaikan gejala AR selama kehamilan. Perbaikan ini diduga karena : 1. Adanya aloantibodi dalam sirkulasi maternal yang menyerang HLA-DR sehingga terjadi hambatan fungsi epitop HLA-DR yang mengakibatkan perbaikan penyakit. 2. Adanya perubahan profil hormon. Placental corticotropinreleasing hormone secara langsung menstimulasi sekresi dehidroepiandrosteron (DHEA), yang merupakan androgen utama pada perempuan yang dikeluarkan oleh sel-sel adrenal fetus. Androgen bersifat imunosupresi terhadap respon imun selular dan humoral. DHEA merupakan substrat penting dalam sintesis estrogen plasenta. Estrogen dan progesteron menstimulasi respon imun humoral (Th2) dan menghambat respon imun selular (Th1). Oleh karena pada AR respon Th 1 lebih dominan sehingga estrogen dan progesteron mempunyai efek yang berlawanan terhadap perkembangan AR. Pemberian kontrasepsi oral dilaporkan mencegah perkembangan AR atau berhubungan dengan penurunan insiden AR yang lebih berat.
Faktor infeksi
Beberapa virus dan bakteri diduga sebagai agen penyebab penyakit. Organisme ini diduga menginfeksi sel induk semang (host) dan merubah reaktivitas atau respon sel T sehingga mencetuskan timbulnya penyakit. Walaupun belum ditemukan agen infeksi yang secara nyata terbukti sebagai penyebab penyakit.
Agen Infeksi yang Diduga sebagai Penyebab Artritis Reumatoid
·         Agen infeksi à Mekanisme patogenik
·         Mycoplasma à Infeksi sinovial langsung, superantigen
·         Parvovirus B19 à Infeksi sinovial langsung
·         Retrovirus à        Infeksi sinovial langsung
·         Enteric bacteria à Kemiripan molekul
·         Mycobacteria à Kemiripan molekul
·         Epstein-Barr Virus à       Kemiripan molekul
·         Bacterial cell walls à       Aktifasi makrofag
Protein heat shock (HSP)
HSP adalah keluarga protein yang diproduksi oleh sel pada semua spesies sebagai respon terhadap stres. Protein ini mengandung untaian (sequence) asam amino homolog. HSP tertentu manusia dan HSP mikobakterium tuberkulosis mempunyai 65% untaian yang homolog. Hipotesisnya adalah antibodi dan sel T mengenali epitop HSP pada agen infeksi dan sel host. Hal ini memfasilitasi reaksi silang limfosit dengan sel host sehingga mencetuskan reaksi imunologis. Mekanisme ini dikenal sebagai kemiripan molekul (molecular mimicry).

Patogenesis Artritis Reumatoid

Penyakit ini diawali pada seseorang yang mempunyai kecendrungan genetic-oleh aktivasi sel T-helper yang memberikan respons terhadap bebrapa agen artritogenik, mungkin mikroba. Kemudian, sel CD4+ yang diaktivasi menghasilkan sitokin yang akan:
1.           mengaktifkan makrofag dan sel lain dalam rongga sendi, melepaskan enzim degradatif dsn factor lain yang menimbulkan peradangan , dan
2.           mengaktifkan sel B, yang menghasilkan antibody, bebrapa diantaranya diarahkan untuk melawan komponennya sendiri.

Sinovium rematoid sangat banyak mengandung sitokin, baik yang bersal dari limfosit maupun yang berasal dari makrofag. Aktvitas sitokin ini berperan pada berbagai gambaran yang muncul pada sinovitis rematoid; tidak hanya sitokin ini yang bersifat proinflamasi, tetapi IL-1 dan TGF-alfa, misalnya menyebabkan proliferasi sel sinovial dan fibroblast. Sitokin ini juga merangsang sel sinovial dan kondrosit untuk menyekresi enzim preteolitik dan enzim pendegradasi matriks. Belum lama ini, telah terbukti bahwa sel T yang aktif dalam lesi RA akan mengeluarkan ligan RANK dalam jumlah yang berarti. Ligan RANK akan menginduksi diferensiasi dan aktivasi osteoklas dan dapat berperan sangat penting dalam resorpsi tulang seperti yang terjadi pada lesi destruktif dari RA.
Factor genetic dalam patogenesis RA ditunjukkan melalui peningkatan frekuensi penyakit ini di antara kerabat tingkat pertama dan terdapat angka kesesuaian yang tinggi pada kembar monozigot; terdapat pula keterkaitan yang tinggi antara HLA-DR4 dan/atau HLA-DR1 dengan RA. Yang menarik adalah alel DR yang berhubungan dengan kerentanan tersebut menyumbangkan suatu jajaran empat asam amino, yang diletakkan pada celah pengikat antigen pada molekul DR. jadi, molekul DR tertentu dapat memudahkan terjadinya RA melalui kemampuannya mengikat antigen artritogenik terpilih, yang kemudian akan mengaktivasi sel T helper dan mengawali proses penyakit.
Sel T berperan penting dalam patogenesis RA, termasuk mengarahkan aktivasi sekunder endotel (untuk memudahkan rekrutmen sel inflamasi), makrofag dan osteoklas. Sel B (yang diaktivasi oleh sel T) penting juga. Pada kira-kira 80% pasien, factor rematoid (RF)-autoantibodi IgM (dan untuk lingkup yang lebih kecil, IgG) yang diarahkan untuk melawan bagian Fc dari IgG terdapat dalam serum dan cairan sinovial. Masih belum jelas mengapa dibentuk antibody yang melawan IgG autolog. RF dalam sirkulasi diduga terlibat dalam berbagai manifestasi ekstraartikular dari RA, dan factor rematoid sendi turut berperan berperan pula pada reaksi peradangan pada tempat tersebut. RF (faktor rematoid) dan IgG membentuk kompleks imun yang mengikat komplemen, menarik neutrofil, dan menimbulkan cedera jaringan karena reaksi hipersensitiftas tipe III. Perlu diperhatikan bahwa RF tidak selalu ada (tidak ditemukan pada 20% pasien RA), kadang-kadang ditemukan pada status penyakit lainnya (bahkan pada orang sehat), dan mungkin tidak penting sebagai penyebab RA.
Akhirnya terdapat agen infeksius yang sulit dipahami yang antigennya mengaktivasi sel T. Banyak agen yang telah dipikirkan, tetapi tidak satupun yang terbukti. Agen yang diperkirakan adalah EBV, spesies Barrelia, spesies mycoplasma, parvovirus, dan mikobakterium. Meskipun kerusakan sendi pada RA berasal dari imun dan tampaknya terjadi pada individu yang mempunyai kecendrungan secara genetik, pemicu tepat yang memulai reaksi ini masih belum diketahui.



Manifestasi klinis Artritis Reumatoid
Dalam keadaan dini, AR dapat bermanifestasi sebagai :
·                Palindromic rheumatism à timbulnya gejala moartritis yang hilang timbul yang berlangsung antara 3-5 hari dan diselingi remisi sempurna sebelum bermanifestasi sebagai AR yang khas.
·                Pauciarticular rheumatism à gejala poliartritis yan melibatkan 4  persendian atau kurang.

1.             Manifestasi Artikular
Dapat dibagi 2 kategori :
·  Gejala inflamasi akibat sinovitis yang reversibel
·  Gejala akibat kerusakan struktur persendian yang bersifat ireversibel
Gejala yang berhubungan dengan sinovitis ialah kaku pada pagi hari yang umumnya lebih dari 1 jam. Lamanya kaku dapat berhubungan dengan lamanya imobilisasi pada saat pasien tidur atau beratnya inflamasi. Inflamasi menyebabkan imobilisasi persendian yang jika berlangsung lama akan mengurangi pergerakan persendian baik secara aktif maupun pasif. Sinovitis akan menyebabkan kerusakan rawan sendi dan erosi tulang periartikular sehingga menyebabkan terbentuknya permukaan sendi yang tidak rata.
Ø  Pada vertebra servikalis à kekauan pada seluruh segmen leher disertai berkurangynya lingkup gerak sendi secara menyeluruh.
Ø  Pada gelang bahu à tanpa pelatihan pencegahan dapat terjadi kekakuan bahu berat (frozen shoulder syndrome).
Ø  Pada siku à parestesia jari 4 dan 5 akan kelemahan otot fleksor jari 5.
Ø  Pada tangan à gambaran swan neck deformities (deformitas patognomink yang banyak dijumpai pada AR), gejala carpal tunnel syndome, dan tenosinovitis akibat pembentukan nodul reumatoid yang menghambat gerakan tendon dalam sarungnya.
Ø  Pada panggul àpada keadaan dini menyebabkan keterbatasan gerak yang tidak jelas dan ringan pada kegiatan tertentu, namun jika destruksi terjadi lebih lanjut gejala gangguan sendi panggul berkembang lebih cepat dibandingkan persendian lainnya.
Ø  Pada lutut à penebalan sinovial, efusi lutut, dan herniasi kapsul sendi kearah posterior dapat menyebabkan terbentuknya kista Baker.
Ø  Pada kaki dan dan pergelangan kaki à disfungsi dan rasa nyeri yang hebat (akibat beban tubuh yang disangga), dapat ditemukan deformitas berupa pronasio dan eversio kaki, walaupun jarang dapat terjadi parestesia pada telapak kaki.

2.         Manifestasi Ekstrartikular
Ø Kulit
Nodul reumatoid umumnya timbul pada fase aktif dan terbentuk di bawah kulit teurtama pada lokasi yang banyak menerima tekanan (olekranon, permukaan ekstensor lengan dan tendon achilles), serta vaskulitis yang bermanifestasi sebagai lesi purpura atau ekimosis pada kulit dan nekrosis kuku bahkan gangren atau ulkus.
Ø Mata
Kelainan yang sering dijumpai ialah keratokonjungtivis sicca, selain itu pada AR dapat dijumpai episode episkleritis yang ringan dan sembuh spontan, serta gejala skleritis yang menyerupai nodul reumatoid dan menimbulkan gejala skleromalasia perforans yang dapat menyebabkan kebutaan.
Ø Sistem respiratorik
Nyeri tenggorakan, nyeri menelan atau disfonia yang umumnya terasa lebih berat pada pagi hari, pada paru dapat terjadi pneumonitis intrestisial, efusi pleura, dan fibrosis paru yang luas.
Ø Sistem Kardiovaskular
     Pada bebepa pasien dapat dijumpai perikarditis konstriktif yang berat. Lesi inflamatif yang menyerupai nodul reumatoid dapat di jumpai pada miokardium dan katup jantung, lesi ini dapat menyebabkan disfungsi katup fenomena embolisasi, gangguan konduksi, aortritis dan kardiomiopati.
Ø Sistem Gantrointestinal
Tidak ada yang spesifik selain daripada xerostomia yang berhubungan dengan sindrom sjogren atau komplikasi GIT akibat vaskulitis.
Ø Ginjal
Berbeda dengan SLE, pad AR jarang dijumpai kelainan glomerular, jika dijumpai proteinuria hal tersebut lebih sering akibat efek samping pengobatan seerti garam emas dan d-penisilamin atau terjadi sekunder akibat amiloidosis.
Ø Sistem saraf
Komplikasi neurologis yang sering dijumpai pada AR umumnya tidak memberikan gambaran yang jelas sehingga sukar untuk membedakan komplikasi neurologis akibat lesi artikular dan lesi neuropatik.
Ø Sistem hematologik
Gambaran umum berupa anemia penyakit kronik yang ditandai gambaran eritrosit normokromik normositik (atau hipokromik ringan) yang disertai kadar besi serum rendah serta kapasitas pengikatan normal atau rendah.
Pada pasien AR yang berat dengan HLA-DR4 psitif sering dijumpai sindrom felty yang merupakan gabungan dari gejala AR, splenomegali, leukopenia dan ulkus pada tungkai. Sindromfelty umumnya juga sering disertai limfadenopati dan trombositopenia. Selain sindrom felty, trombositopenia dapat timbul akibat penekanan sumsum tulang pada penggunaan obat imunosupresif atau berhubungan dengan proses autoimun pada penggunaan garam emas, d-penisilamin atau sulfalazin.


Diagnosis AR
1.      Pemeriksaan radiografis
2.      Pemeriksaan cairan synovial kekuningan atau kuning muda, berkabut, keruh disertai penurunan viskositas. Bekuan musin buruk dan hitung leukosit rata-rata 15.000 sampai 20.000 /mm3 serta ditemukan factor rheumatoid.


Terapi Artritis Reumatoid

AR harus  diterapi sedini mungkin untuk mencegah terjadinya kecacatan. Semua pasien AR dengan inflamasi yang persisten (>8 minggu), yang sudah diberi terapi dengan analgesika dan OAINS sebaiknya juga dirujuk konsultan reumatologi.


Prinsip Terapi
Ø  Tim Multidisiplin
Dilakukan melalui tim yang melibatkan dokter umum, konsultan reumatologi, fisioterapis, occupational terapist, ahli diet , dan pekerja sosial.
Ø  Edukasi
Pendekatan edukatif untuk pasien dan keluarga tentang penyakit dan pengobatannya untuk meningkatkan kepatuhan terhadap pengobatan.
Ø  Perawatan di RS
Tidak diperlukan kecuali pada keadaan yang berat. Evidence based medicine menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna antara rawat inap pada AR dibandingkan rawat jalan.
Ø  Terapi Farmakologis
1.    Analgesika
     Paracetamol 3 X 500-1000mg, analgesika yang lain (B).
2.    OAINS (obat antiinflamasi non steroid)
     OAINS digunakan untuk terapi simtomatis, mengurangi nyeri. Meta analisis dan RCT menunjukkan bahwa OAINS cukup baik dalam mengurangi keluhan dan meningkatkan fungsi mobilitas pada penderita AR. Karena efek samping yang ditimbulkan, yaitu iritasi GIT maka untuk mengurangi efek samping dianjurkan penggunaan bersamaan dengan penyekat H2, atau penyekat pompa proton (A).
3.    DMARDs (Disease Modifying Anti-Rheumatic Drugs)
     DMARDs digunakan untuk terapi “kausal” karena bisa menghambat progresi penyakit, tetapi efek terlihat setelah 4-6 minggu. Karena efek samping cukup tinggi perlu pemantauan ketat. DMARD harus diberikan sedini mungkin dan tetap diberikan selama fase aktif dari AR.






Beberapa DMARDs yang sering digunakan sebagai teraai “kausal” pada AR
DMARDs/dosis
ES (sering)
ES (jarang)
Pemantauan
Keuntungan
Klorokuin / hidroksiklorokuin 200-400 mg/hr
Mual, pusing
Deposisi di retina, leukopenia, trombositopenia, hiperpigmentasi
Cek retina tiap 6 bulan
Tidak perlu pemantauan ketat, murah. Bisa digunakan jika dx belum pasti. Angka remisi ± 50%
Sulfalazin 500-2000 mg/hr
Mual, pusing, diare, ruam, stomatitis, oligospermia (reversibel), gangguan hati
leukopenia
DL, tes faal hati
Onset lebih cepat (8-12 minggu). Bisa digunakan jika dx belum pasti. Angka remisi ± 60 %
Metotreksa 5-30 mg/minggu
Mual, pusing, diare, ruam, stomatitis, gangguan hati, alopesia
Leukopenia / Trombositopenia, pneumonitis, sepsis, hepatitis, nodulosis, lymphoma
DL, tes fal, hati-ginjal, hindari alkohol, Tambahkan asam folat 1 mg/hr
Onset lebih cepat (6-10 minggu). Bisa digunakan pada diagnosis yangbelum pasti. Angka remisi ± 65 %
Azatioprin 1-2 m/kgBB
Mual, pusing
Leukopenia, sespis, limfoma
DL, tes faal hati
Dapat digunakan pada gangguan fungsi ginjal
Siklosporin 5 mg/kgBB.hr
Paraestesia, tremor, pusing
Hipertensi, nefritis, mual, hypertrychosis, hipertrofi gingiva
DL, tes faal hati, ginjal
Angka remisi ± 50%
Leflunomide 100 mg/hr (3hr) 10-20 mg/hr
Alopesia, diare, mual, ruam
Leukopenia, hepatitis, trombositopenia
DL, tes faal hati-ginjal, tensi
Angka remisi ± 50%

4.    Kortikosteroid
            Injeksi kortikosteroid intraartikuler hanya dilakukan pada sendi vital yang mengalami inflamasi, menunjukkan efikasi yang baik dalam mengurangi inflamasi dan dapat meminimalisasi efek samping sistemik dari kortikostroid. Diberikan maksimal 3 X dalam 1 tahun pada satu sendi.
           
Kortikostreoid sistemik dapat diberikan sebagai “terapi jembatan” untuk mengurangi keluhan pasien, sambil menunggu efek DMARD yang baru muncul setelah 8-6 minggu. Biasanya diberikan steroid dengan dosis rendah setara prednison 5-7,5 mg/hari. Setelah efek DMARD muncul, berupa keluhan penderita yang banyak berkurang, kortikosteroid dapat dihentikan.
            Untuk pemberian yang lama sebaiknya diberikan pencegahan ostoporosis dengan vitamin D3 dan kalsium atau bersama obat antiresoptif seperti alendronat dan risdronate


Komplikasi dan prognosis
Terdapat 3 tipe RA :
a.       Tipe remitif/monosiklik (10-20%). Dapat terjadi remisi spontan.
b.      Tipe kronis eksaserbatif/polisiklik (70%)
c.       Tipe progresif (10-20%), dalam waktu relative singkat persendian rusak.
Indicator prognosis buruk ;
a.       lebih banyak sendi yang terserang
b.      LED dan CRP tinggi
c.       RF +
d.      Erosi sendi pada awal penyakit
e.       Social ekonomi rendah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar