Senin, 26 November 2012

POSR Emergensi 1

Kasus Emergensi 1
Seorang  anak laki-laki, usia 3  tahun, dibawa ke UGD  Puskesmas karena kejang-kejang yang mulai  dialami  beberapa menit yang lalu. Pasien juga mengalami demam sejak 2 hari yang lalau dan demam  tinggi sejak tadi malam. Menurut ibu, anaknya memang akan kejang jika demam tinggi. Ibu sudah memberikan penurun panas tapi anaknya tetap kejang.  Hasil pemeriksaan fisik, keadaan umum: tidak sadar,  telapak tangan tampak menggenggam kencang dan bibir mengatup kencang, dan tangan dan kaki tampak kaku, bibir tampak sianosis, tampak luka kotor dan bengkak di telapak kaki pasien
1.    Daftar Masalah
a.    Kejang-kejang yang dialami beberapa menit yang lalu
b.    Demam 2 hari yang lalu dan demam tinggi sejak tadi malam
c.    Ibu sudah memberikan penurun panas tapi anaknya tetap kejang
d.    Keadaan umum: tidak sadar, telapak tangan tampak menggenggam kencang dan bibir mengatup kencang, dan tangan dan kaki tampak kaku, bibir tampak sianosis, tampak luka kotor dan bengkak di telapak kaki pasien
2.    Diagnosis
Tetanus
Kemungkinan pasien mengalami peningkatan tonus otot atau spasme yang diakibatkan oleh infeksi clostridium tetani, keadaan ini biasa disebut sebagai tetanus. Tetanus biasanya terjadi setelah suatu trauma yang menyebabkan terjadi kontaminasi luka oleh tanah atau kotoran lainnya. Hal ini terjadi juga pada pasien yaitu terdapat luka kotor di kaki pasien. Trias klinis pada tetanus adalah terjadi rigiditas, spasme otot, dan jika berlanjut kelainan otonomik. Biasanya spasme otot didahului di daerah wajah, hal ini nampak juga pada pasien yang ditunjukkan dengan bibir mengatup kencang. Spasme otot yang lain juga nampak pada kaki dan tangan yang kaku serta telapak tangan yang menggenggam kencang. Derajat tetanus pada pasien sulit ditentukan karena pada skenario tidak dijabarkan tanda vital. Kemungkinan pasien mengalami derajat sedang.
3.    Tujuan terapi
a.    Mengeradikasi bakteri penyebab
b.    Pengendalian rigiditas dan spasme otot
c.    Mengatasi keadaan sianosis, pengendalian respirasi
4.    Golongan Obat rasional
a.    Untuk mengeradikasi bakteri penyebab

-    penisilin
-    Sefalosporin
-    Aminoglikosida
-    Tetrasiklin
-    Makrolida
-    Kloramfenikol
-    Vankomisin
-    Metronidazole
-    Kuinolon
-    Sulfonamid dan timetropim (Kotrimoksazol)



Golongan obat yang dipilih untuk mengeradikasi bakteri clostridium tetani adalah metronidazole. Metronidazole sendiri sebenarnya bukan golongan antibiotic, melainkan golongan obat anti-parasit, namun obat ini jiga memiliki efek antimikroba. Metronidazole dipilih karena aktivitas mikroba metronidazole bagus untuk bakteri anaerob. Clostridium tetani sendiri merupakan bakteri anaerob. Penisilin sebenarnya merupakan rekomendasi dan digunakan secara luas. Namun yang menjadi pertimbangan disini adalah  penisilin memiliki aktivitas antagonis terhadap reseptor GABA dan berkaitan dengan konvulsi, penisilin tidak digunakan pada kasus ini karena obat GABAnergik akan digunakan pada pasien ini sebagai pengendalian rigiditas dan spasme otot. Tetrasiklin memiliki aktifitas mikroba terhadap bakteri anaerob, namun golongan obat ini telah banyak resisten. Kloramfenikol dan golongan makrolida juga memiliki aktifitas anti mikroba terhadap bakteri anaerob namun kedua golongan ini menjadi pilihan kedua (alternative)(IPD FKUI).
b.    Pengendalian rigiditas dan spasme otot
-    Golongan GABAnergik
-    Golongan Opioid
-    Golongan pemblokade neuromuscular (aminostroid)
Golongan obat yang dipilih adalah golongan GABAnergik. Hal ini dikarenakan sesuai dengan patofisiologi tetanus, toksin dari bakteri clostridium tetani menyebabkan penghambatan pelepasan neurotransmitter presinaptik terutama dominan neurotransmitter inhibisi seperti GABA. Penurunan neurotransmitter inhibisi ini menyebabkan neurotramitter eksitasi bekerja berlebihan dan menyebabkan spasme otot. Oleh karena itu yang perlu dilakukan adalah meningkatkan kerja neurotransmitter GABA dengan menggunakan golongan obat GABAnergik. Golongan opioid ditakutkan dapat menyebabnkan distress pernafasan karena memiliki efek sedasi yang berlebihan. Golongan pemblokade neuromuscular (aminosteroid) tidak digunakan karena dapat menimbulkan paralitik berkepanjangan setelah obat dihentikan. Golongan ini juga belum diuji dalam uji klinis random dan tergolong obaat yang mahal (IPD FKUI).
c.    Mengatasi keadaan sianosis, pengendalian respirasi
Keadaan sianosis pada pasien disebabkan karena hipoventilasi yang diakibatkan oleh keadaan trismus (keadaan tidak membuka mulut) dan laringospasme. Oleh karena itu yang dapat dilakukan adalah dengan kirikotiroidektomi, untuk membuka jalan nafas melalui trakea (IPD FKUI).
5.    Obat yang dipilih
a.    Metronidazole
Metronidazole merupakan obat pilihan dari golongan anti-parasit yang memiliki aktifitas mikroba untuk bakteri anaerob. Obat ini menjadi rekomendasi pertama untuk mengeradikasi bakteri penyebab tetanus selain penisilin.
b.    Golongan GABAnergik

-    Diazepam
-    Karbamazepin
-    Klorpromazin
-    Barbiturat
-    Fenobarbital
-    Midazolam
-    Fenothiazin

Obat yang dipilih adalah diazepam. Diazepam memiliki jalur rute pemberian yang bervariasi, termasuk jalur rektal. Hal ini menjadi nilai lebih karena akan mempermudah pemberian obat pada pasien yang mengalami kejang atau spasme otot. Diazepam juga digunakan sebagai obat lini pertama untuk mengatasi kejang dan spasme otot karena mekanismenya yang mendepresi semua tingkatan sistem saraf pusat, termasuk bentukan limbic dan reticular, mungkin dengan meningkatkan aktivitas GABA. Sedangkan obat yang lain adalah obat lini kedua, sesuai dengan urutan algoritmanya yaitu fenothiazin, fenobarbital, dan midazolam.
6.    BSO dan Dosis
a.    Metronidazole
Metronidazole diberikan melalui intravena dengan dosis pediatric 10-15mg/kgBB/hari  dengan dosis terbagi setiap 8 jam. Dapat juga diberikan setiap 12 jam. Dosis maksimal sehari adalah 2 gr/hari. Lama pemberian yaitu 14 hari dengan observasi keadaan klinis pasien. Karena Berat badan anak tidak diketahui, maka perlu dihitung dosis anak dengan rumus Young. Dosis maksimal dewasa 4 gr/ hari dengan dosis terbagi setiap 12 jam. Dengan dosis dewasa ini dapat dihitung dosis anak, sebagai berikut. (IPD FKUI)
Dosis anak    = ( usia (th)/usia (th) + 12 ) x dosis maksimal dewasa
        = ( 3 / 3 + 12 ) x 4 gr
Dosis anak    = 0,8 gr atau 800 mg -> dosis maksimal sehari
        = 800 / 2 -> krn dosis terbagi sehari tiap 12 jam (2 kali pemberian)
        = 400 mg -> dosis sekali pemberian
b.    Diazepam
Sediaan yang digunakan adalah injeksi intravena, karena sediaan ini cocok dan mudah diberikan pada pasien yang mengalami kejang atau spasme otot dengan keadaan tidak sadar. Dosis pemberian diazepam intravena pada dewasa adalah 0,5 mg / kg BB / hari. Dengan berat badan normal orang dewasa 60 kg, didapatkan dosis satu hari pada orang dewasa adalah 30 mg. Karena Berat badan anak tidak diketahui, maka perlu dihitung dosis anak dengan rumus. Jadi dosis anak dapat dihitung sebagai berikut.
Dosis anak    = ( usia (th)/usia (th) + 12 ) x dosis maksimal dewasa
        = ( 3 / 3 + 12 ) x 30 mg
        = 6 gr / 60 kg
        = 0,1 mg/kgBB/hari -> dosis anak
Berat badan anak usia 3 tahun sekitar 12 kg. Maka dosis satu kali pemberian pada kasus ini adalah 0,1 x 12 = 1,2 mg injeksi intravena.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar